Transportasi umum yang menjadi alternatif termurah tentu saja dipadati ribuan pekerja setiap harinya. Masih terbayang betapa berharganya waktu di jakarta walau hanya semenit.
Ketika mengurus VISA di Jakarta, setiap hari saya harus bangun lebih awal dan menunggu angkot dan kopaja untuk menuju beberapa tempat. Berjalan kaki 4-5 km saat itu menjadi sebuah keharusan.Â
Macet 2-3 jam bagi warga Jakarta mungkin saja hal lumrah. Lahir dan besar di pulau Sumatra, saya pastinya tidak terbiasa dengan kemacetan kota besar. Kehidupan di Sumatra jauh lebih santai dibandingkan kota besar seperti Jakarta.
Wajah-wajah lelah di dalam Kopaja tentu tak asing lagi. Sudah lelah di tempat kerja, lalu ditampar dengan kemacetan yang seakan tak pernah berakhir walau bagaimana pun caranya.Â
Kota besar memang berbeda. Ketika menetap di Taipei selama dua tahun, saya juga menyaksikan bagaimana aktivitas warga Taipei setiap harinya.Â
Arus transportasi dihiasi ragam wajah mulai pagi sampai malam hari. Berbeda dengan kawasan pinggiran kota atau jauh di pelosok desa yang terlihat sunyi baik di hari biasa apalagi akhir pekan.
Ya, sebaik-baiknya ibu kota masih lebih baik ibu kandung. opppsss.
Merantau ke kota tanpa ketrampilan ibarat pergi memancing tanpa kail. Walau terkesan simpel, skil memasak sangat membantu dikala dompet kosong melompong. Â
Di kampung sendiri, lapar dan haus bukan perkara besar. Masih banyak tetangga dan saudara yang mudah membantu tanpa diminta. Di kota besar suasana tentu berbeda, mau minta bantu rasa malu pasti duluan hinggap.
Belum lagi skil komunikasi yang terhalang adat istiadat dan kebiasaan. Banyak perantau yang sulit membangun komunikasi dengan penduduk setempat karena besar dengan kultur dan gaya bicara yang tidak sama.Â
Alhasil, pendatang sering tersisihkan jika skil komunikasi tidak dibangun dari awal. Padahal, mempelajari pola hidup di kota besar dan komunikasi lebih awal dapat membantu mempermudah transisi pendatang yang sudha barang tentu dianggap rintangan di masa awal merantau.Â