Merujuk pada  artikel Guru Penggerak Cermin Kegagalan Pendidikan yang dituliskan oleh bang Adrian Saputra, saya tergugah untuk memaparkan opini tentang rekruitmen calon guru di Indonesia.Â
Fakultas keguruan selayaknya menjadi fakultas terbaik dari fakultas lainnya. Alasannya satu, di sini diproduksi kader guru yang menentukan kualitas bangsa kedepannya.
Guru tidak seharusnya dibedakan dengan nama. Jadi, guru tetaplah guru, baik bergerak atau tidak. Kualitas pendidikan dibenah dengan visi yang jelas dari awal, bukan saat guru sudah di dalam kelas sedang mengajar.
Menyaring Calon Guru Berkualitas
Fakultas keguruan adalah sebuah wadah bagi calon guru. Di sini akan diseleksi, dibina dan dipersiapkan calon guru handal yang siap mengajar.Â
Layaknya sekolah kedinasan bagi prajurit, mereka menyeleksi calon tentara atau polisi yang siap tempur. Seleksinya ketat sekali, fisik dan mental tidak cukup, harus juga dilandasi kemampuan akademik.Â
Kenapa banyak guru yang tidak siap mengajar ketika sudah menjadi guru? Bahkan, mohon maaf, banyak juga yang tidak secara kualitas siap menjadi guru. Itu realita lapangan dan rahasia umum.
Saya menuliskan ini dengan beberapa sudut pandang. Sebagai seorang murid, saya sudah merasakan kualitas pendidikan dan sebagai pengajar saya sudah mengetahui gambaran kualitas calon pendidik secara garis besar.
Saat kuliah di fakultas keguruan, seleksi menjadi mahasiswa keguruan boleh dikatakan tidak ketat. Asal lewat tes, maka sudah diterima menjadi mahasiswa fakultas keguruan.
Di sana, ada ratusan mahasiswa keguruan setiap tahunnya diterima pada satu universitas. Namun, hanya 40% yang benar-benar punya minat mengajar, sisanya ada yang ikut-ikutan, dipaksa orang tua, dan pelarian dari jurusan lain yang tidak lulus.
Ini adalah fakta di lapangan. Dulu, ketika mengajar selama empat tahun di fakultas keguruan, saya juga mendapatkan data yang sama. Dari total 30 mahasiswa yang saya ajar, tidak lebih dari 10 orang mahasiswa yang memang murni pingin jadi guru.