Peran teknologi dewasa ini sangat mempermudah segala hal. Dengan hadirnya kecerdasan buatan, banyak segmen yang diuntungkan. Selain mempercepat akses referensi, mahasiswa sangat dimudahkan untuk mengerjakan tugas.
Meskipun demikian, perlu diingat ada harga yang harus dibayar kedepannya. 'Harga' yang saya maksud disini bukanlah biaya yang harus dikeluarkan untuk berlangganan, tapi lebih kepada berkurangnya kecerdasan alami manusia.
Kecerdasan buatan tidak sama dengan kecerdasan alami yang ada pada manusia. Untuk bisa memperoleh kecerdasan alami, seseorang perlu melatih otak dengan bertahap, bukan dengan cara instan.Â
Apapun yang berlebel instan, baik itu mie instan ataupun mie rebus. Oppppss. Maaf! maksud saya kecerdasan instan, tidaklah berdampak baik bagi manusia dalam jangka panjang.Â
Saya beri contoh, fungsi kalkulator yang pada kenyataannya membantu mempersingkat waktu untuk berhitung, membuat otak manusia lemot dalam mengkalkulasi.Â
Otak manusia berfungsi dengan proses yang rumit, bertahap, dan mengintegrasikan segala aspek informasi yang masuk. Jika informasi yang masuk terlalu mudah, maka otak tidak menyimpannya menjadi memori jangka panjang.
Akibatnya, kemampuan otak untuk membangun logika akan lemah jika pola informasi yang masuk dominan mudah. Misalnya, biar gampang tinggal pakai GPS aja, lalu sim salabin, sekejap sudah sampai.
Sayangnya, ketika ponsel pintar tidak bersama, maka kemampuan navigasi tidak terbentuk. Apa sebabnya? otak tidak bisa memproses informasi yang berbasis instan. Ingat, segala hal yang mudah didapat akan mudah dilupakan otak.Â
Kecerdasan Alami vs Kecerdasan Buatan
Kalau mau jujur, kecerdasan alami seharusnya lebih dikedepankan. Alasannya simpel, kemampuan optimal otak itu terbentuk dengan proses lama, bukan dengan cara instan.
Kalau tidak percaya, silahkan baca buku tentang cara kerja otak dan bagaimana otak memproses informasi, maka disana akan tertulis betapa rumitnya satu informasi diseleksi, dipilah dan dipilih oleh bagian otak berbeda untuk kemudian disimpan.