Maraknya jual beli karya ilmiah di dunia pendidikan menjadi masalah serius yang harus diperhatikan. Pola jenjang jabatan yang mengharuskan seorang dosen untuk mempublikasikan artikel membuka celah 'bisnis' karya ilmiah.
Siapa Dalangnya?
Apa yang membuat jual beli karya ilmiah condong menjadi lahan basah bagi pihak tertentu? Ada banyak faktor yang harus dilihat, dianalisis, dan dicermati dengan teliti.
Namun dari itu, aturan jurnal ilmiah berlevel Scopus Q1, Q2, Q3, dan Q4 bisa saja tanpa disadari berfungsi sebagai pematik. Kalau dicermati, ada berbagai macam latar belakang dosen.
Ada yang secara intelektual sangat mumpuni, ada juga sebagian yang biasa-biasa saja. Bagi dosen yang jarang atau tidak memiliki kemampuan menulis, tentu saja akan sangat mudah menjadi 'mangsa' joki karya ilmiah.
Dengan harga 5-9 juta, seorang dosen yang tidak mau ribet akan mudah menerima tawaran untuk dibuatkan karya ilmiah atas namanya. Lalu, secara akademik ia diuntungkan karena karya ilmiah tersebut bisa dipakai untuk syarat naik jabatan.Â
Ya, faktor supply dan demand pastinya bermain disini. Ada permintaan pasar membuat para joki semakin antusias untuk menawarkan 'produk' mereka. Mau siap satu minggu atau lebih cepat lagi semua mungkin saja asal ada uang.
Baca juga :Â Dua Pemicu Munculnya Joki Skripsi di Dunia Kampus
Kebijakan publikasi karya ilmiah level internasional membuat beberapa kalangan terasa panas dingin. Betapa tidak, untuk menulis karya ilmiah level nasional saja kemampuan masih sangat terbatas, apalagi disuruh naik ke level atas lagi.
Sebagian kaum intelektual menganggap kebijakan ini bisa berdampak positif. Setidaknya, dosen-dosen di Indonesia mampu naik kelas dan terjun langsung di kancah Internasional.Â
Tidak salah memang! Akan tetapi, jika melihat kemampuan menulis rata-rata dosen di Indonesia, apakah sudah mapan secara kesiapan untuk naik tingkat?