Sebuah kebijakan memang seharusnya memihak pada rakyat dan bukan sekedar test drive. Jika aturan yang ingin ditegakkan hanya sebatas trial dan error, tentu saja kita sudah bisa menebak ujungnya.
Rakyat pasti sudah bosan dengan segala macam kebijakan yang terkadang bak pisau bermata dua, satu tajam memotong hak kaum miskin, sementara di sisi lain tumpul tanpa tujuan jelas.
Electronic Road Pricing (ERP) yang terlihat efektif untuk melebur kemacetan bisa saja tidak sesuai harapan jika beberapa faktor penilaian tidak dipertimbangkan.
Tujuan dan Visi
Saya pribadi setuju jika aturan ERP bisa memperbaiki kualitas lalu lintas, namun tetap memberikan kenyamanan bagi semua pihak. Kita sadari, antara satu kebijakan dan kebijakan lain terkadang tumpang tindih dan tidak sejalur.
Misalnya, apakah pemberlakuan ERP sudah siap jika dinilai dari jumlah transportasi publik yang dapat menampung mobilisasi penduduk kota. Tentu saja untuk menjawab ini butuh data yang rinci sesuai realita lapangan.
Pertanyaannya adalah, sejauh mana pemerintah dapat membuat analisa terstrukur tentang pola lalu lintas, jumlah kedaraan, dan kaitannya dengan perkembangan ekonomi?
Dengan kebijakan ERP, siapa yang akan diuntungkan dan siapa yang akan menangung rugi?
Rakyat jelas tidak mau mengikuti aturan yang tujuannya masih terdengar ambigu. Bukankah sebuah aturan akan mudah untuk diikuti jika memang tujuan dan visinya sejalan?
Jalur tertentu yang dianggap menjadi sumber kemacetan memang perlu dicarikan solusi agar tidak memperparah keadaan dan dapat memberikan kenyamanan bagi pengendara.