Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan produksi beras pada 2022 berada pada angka 32 juta ton. Menurut pakar agronomi Institut Pertanian Bogor, Rudi Purwanto, konsumsi beras per individu rata-rata 130 kilogram per tahunnya.
Kalau merujuk pada jumlah penduduk Indonesia saat ini, maka produksi beras dalam negeri tidak mencukupi. Hal ini diperparah dengan alih fungsi lahan menjadi komplek perumahan.
Khususnya di kawasan pinggiran kota, area persawahan telah berubah menjadi hunian penduduk. Tentu ini bukan tanpa alasan, migrasi penduduk dari desa ke kota menjadi penyebab sempitnya lahan pertanian.
Minimnya alternatif pekerjaan di pedesaan mendesak banyak orang untuk mengadu nasib ke perkotaan. Alhasil, lahan persawahan yang dulunya aktif dan produktif mendadak beralih fungsi demi mengakomodir permintaan pasar.
Seiring terbukanya jalan ke pertengahan sawah, pemilik sawah sangat mudah tergiur dengan jumlah uang yang ditawarkan developer. Di satu sisi, pemilik sawah beruntung, di sisi lain lahan produktif tidak lagi menghasilkan beras untuk dikonsumsi.
Contohnya, di area tempat tinggal penulis hanya tersisa beberapa petak sawah yang masih dipergunakan untuk menanam padi. Akan tetapi ada kendala yang menghambat para pertani, yaitu sumber air yang kian menipis.
Dulunya, area ini jumlah air mencukupi kebutuhan aktifitas bertani, namun ketika komplek perumahan bertambah, jumlah debit air berkurang. Akhirnya, sistem tanam padi bergantung pada air hujan dan sebagian petani terpaksa memakai sumur bor untuk mencukupi kebutuhan air.
Mungkin dalam 10 tahun mendatang seluruh area persawahan yang masih aktif ini akan berubah menjadi perumahan warga. Harga jual tanah juga meningkat, sehingga pemilik tanah mudah untuk menjual tanahnya jika seketika terdesak kebutuhan.