Emotional spending adalah sebuah ungkapan yang dipakai untuk menjelaskan perilaku menghabiskan uang pada sesuatu yang tidak dibutuhkan. Memahami emotional spending akan membantu seseorang untuk lebih bijak dalam hal memakai uang.
Menghabiskan uang tentunya lebih mudah ketimbang menghasilkannya. Makanya, wajar saja kita lumrah melihat orang terperangkap dalam label discount sehingga sangat mudah untuk mengeluarkan uangnya.
Sayangnya, angka yang terpajang pada label diskon bisa mempengaruhi pikiran dalam sekejap, alhasil uang yang tadinya banyak dalam waktu singkat bisa ludes. Ini disebabkan pengarus emosi ketika berbelaja.
Emotional spending juga masuk dalam katagori impulse spending, di mana keinginan membeli bisa lebih besar dari ketebalam dompet. Seringnya, orang akan menghabiskan banyak uang pada barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan.
Tanpa disadari, perilaku emotional spending ini akan sangat merugikan individu dalam jangka panjang. Selain hilangnya uang dalam seketika, keinginan membeli karena hasrat condong menjadi jebakan yang merugikan.
Kenapa emotional spending berbahaya?
Secara psikologi, keinginan membeli didorong karena kebutuhan. Meskipun demikian, para produsen barang sangat jeli dalam hal mempelajari spending behavior (hasrat membeli). Tidak heran, sekali saja Anda melihat iklan yang tampil di smartphone, maka akan datang iklan sejenis secara berurutan.
Nah, supermarket biasanya memberi sugesti kepada pembeli dengan tulisan DISCOUNT. Sekilas, tidak ada yang salah dengan tulisan discount, tapi jangan salah kalau ada sisi emosi yang terlibat saat membacanya.
Jika tidak percaya, silahkan deteksi keinginan membeli saat seketika terlihat kata discount, dan bandingkan dengan keinginan membeli barang-barang yang tidak berlebel kata tersebut.
Membeli sesuatu yang lebih murah adalah hal lumrah, jadi keinginan membeli akan barang berlebel discount sangatlah besar. Bisa saja barang yang ingin dibeli tidak masuk katagori keperluan, namun emosi yang sudah terlanjur muncul sulit ditepis.