Manusia enggan menggunakan hati ketika berinteraksi dengan alam. Mereka lebih memilih mata yang seringkali membutakan. Akibatnya, logika manusia menutupi rasa iba pada alam.Â
Mereka lagi-lagi membiarkan alam sesak menghirup asap dari minyak yang dikeruk habis. Lalu, manusia mengejar asa yang tak kunjung selesai.
Mereka ingin menanam tanpa menyakiti alam, namun manusia salah menerka maksud alam. Bahasa alam terdengar lebih sulit di telinga manusia.
Tidak seperti dahulu kala, manusia lebih terbuka dan peka pada perasaan alam. Mereka memakai hanya untuk sekedar bertahan hidup, tidak berharap banyak apalagi menjadi durhaka.
Wahai alam, maafkan manusia yang tidak peka. Mungkin mereka sedang terluka dan tidak lagi peka.