Jumlah korban tragedi kanjuruhan saat ini mencapai 448 orang, dengan 323 korban luka-luka dan 125 orang meninggal dunia (detik.com). Kejadian ini akan tercatat dan dikenang dalam sejarah persepakbolaan Indonesia.
Ada banyak luka yang ditinggalkan oleh para korban dan sebagiannya menjadi kenangan pahit yang sangat dulit dilupakan. Bagi keluarga yang ditinggal, ada luka mendalam yang akan disimpan kuat sebagai sebuah kebengisan akan sepak bola.
Di sisi lain, pandangan luar tentang persepakbolaan Indonesia setidaknya memberikan gambaran besar akan kualitas manajemen dan sistem keamanan. FIFA memberikan belasungkawa akan kejadian ini dan mempertanyakan penggunaan gas air mata saat kejadian.
Larangan FIFA tentang penggunaan gas air mata tertulis begitu jelas,Â
FIFA Stadium Safety and Security Regulations. Pada pasal 19 b) tertulis, 'No firearms or "crowd control gas" shall be carried or used'.
Regulasi tentang pengamanan dan keamanan stadion melarang keras penggunaan senjata api dan gas air mata untuk mengontrol masa, baik dibawa atau digunakan.
Lalu, kenapa penggunaan gas air mata harus dilakukan? ini menjadi sebuah pertanyaan besar yang mungkin perlu diinvestigasi lebih jauh. Dalih mengamankan masa tidak bisa dibenarkan karena ada anak-anak dan perempuan dalam ribuan penonton.
Tragedi Bola Terbesar di Dunia
Pada tahun 1964 di Peru tragedi sepak bola juga pernah terjadi dengan jumlah korban 300 lebih meninggal. Ada sekitar 53 ribu penonton yang hadir menonton pertandingan bola saat itu.
Saat itu jumlah korban berjatuhan juga disebabkan gas air mata yang ditembakkan petugas karena keributan yang tidak bisa dikontrol. Selain itu dipercaya ada beberapa penonton yang juga terkena peluru polisi yang ditembakkan.
Uniknya, beberapa bulan kemudian ada pasangan yang datang untuk mengecek keberadaan kedua anaknya yang datang ke stadion dari provinsi tempat mereka berasal dan tidak pernah kembali sesudah kejadian.