Sebagai orangtua, menuruti keinginan anak karena sayang adalah hal yang lumrah dilakukan. Akan tetapi, perlukah menuruti semua keinginan anak?
Sayang kepada anak hendaknya ditempatkan sebagai sebuah rasa yang harus dijaga bahkan kalau bisa ditingkatkan. Dari rasa sayang anak merasa aman dan terlindungi.
Kendati demikian, perlu diingat rasa sayang yang diletakkan bukan pada tempatnya bisa berbahaya bagi perkembangan mental anak. Ibarat pisau, ketika tajam dan digunakan sesuai keperluan tentu manfaatnya terasa.
Apa yang terjadi jika pisau digunakan untuk membunuh orang? Jelas, ini berbahaya dan merugikan orang lain. Sama halnya ketika orangtua membesarkan anak dengan menuruti semua keinginan anak karena alasan sayang, anak akan tumbuh dengan pola pikir tidak sehat.
Rasa sayang dari orangtua kepada anak mutlak dibutuhkan anak baik secara psikologis maupun kognitif. Di awal masa pertumbuhan 1-3 tahun, seorang anak membutuhkan kasih sayang agar ia bisa tumbuh dengan sehat.
Sehat di sini tidak serta merta hanya bermakna fisik, kondisi mental juga sangat dipengaruhi oleh rasa sayang yang ditumpahkan orangtua ke anak.
Regulasi Emosi yang Stabil
Otak seorang anak berkembang pesat di tiga tahun pertama. Secara tak langsung kasih sayang orangtua berdampak pada koneksi neuron yang terbentuk dalam otak anak.
Nah, rasa sayang ayah dan ibu memiliki peran penting untuk mencerdaskan anak. Loh kok bisa? Benaran?
Otak manusia sangat unik, bukan hanya fungsinya namun juga cara kerjanya. Khusus pada anak, koneksi milyaran sel yang terbentuk erat kaitannya dengan bagaimana orangtua memperlakukan anak.
Contohnya, saat anak menangis apakah ibu atau ayah hanya membiarkan saja. Ketika anak meluapkan emosi dengan berteriak di depan orang ramai, apakah orangtua marah, membentak anak, atau menyapa dengan lembut?
Semua hal-hal simpel yang dilakukan orangtua sebagai respon terhadap kelakuan anak membentuk milyaran sel informasi yang satu sama lain terkoneksi di otak anak.
Lalu, otak akan memilah dan memilih mana yang akan menetap lama dan dibiarkan hilang. Rasa sayang melibatkan emosi dan disimpan lebih lama di otak anak pada bagian khusus.
Sama halnya seperti emosi marah dan takut juga tersimpan rapi di otak anak. Kemampuan orangtua memperlakukan anak dengan baik pada tempatnya sangat krusial untuk perkembangan otak anak.
Idealnya, rasa sayang kepada anak dominan terbentuk lebih cepat pada ibu. Dalam masa kandungan, ketika menyusui dan membersamai anak, rasa sayang akan terus bertambah.
Inilah mengapa seorang ibu akan terkesan tidak tega untuk mencubit anak dan merasa sangat kesal jika melihat anak disentuh atau diperlakukan dengan tidak baik.
Hal ini sedikit berbeda pada ayah, ikatan batin ayah dan anak akan terbentuk kuat saat ayah berjuang membersamai istri dari masa hamil sampai melahirkan.
Sikap tidak tega yang ada pada ibu melahirkan rasa sayang melebihi apa yang dipendam sang ayah. Wajar saja, seorang ibu sangat memproteksi anak ketimbang seorang ayah.
Namun, seorang ayah juga pada dasarnya menyimpan rasa sayang kepada anak dalam bentuk lain. Pemberian berbentuk mainan juga bagian dari luapan sayang yang ada pada seorang ayah.
Anak Tidak Belajar Hal yang Benar
Rasa sayang yang diberikan secara berlebihan bisa berpotensi membentuk informasi yang tidak benar di otak anak. Akibatnya, anak tidak menyimpan apa yang sebenarnya layak dilakukan pada kondisi tertentu.
Misalnya, ketika anak merengek dan menangis lalu orangtua membelikan anak apa yang dimintanya, secara tidak langsung anak tidak belajar cara mengontrol emosi dengan baik.
Konsep sebab akibat akan membentuk informasi yang tidak relevan di otak anak. Dengan cara ini anak akan menghafal pola dan menjadikannya sebagai senjata.
Begitu orangtua terus menerus menuruti permintaan anak, kebiasaan merengek menjadi sesuatu yang tidak baik. Menangis pada awalnya baik tapi menangis berlebihan pada bukan tempatnya menjadi kebiasaan buruk.
Hal kecil seperti ini perlahan menjadi awal pembentuk karakter anak saat remaja. Ada anak yang sedikit-sedikit kesal pada orangtua karena tidak dituruti kemauannya, ada yang dengan mudah menyakiti orangtua yang tidak mau membelikan apa yang anak mau.
Padahal, semua ini berawal dari pembiasaan masa kecil yang tidak bijak. Makanya, ada kalimat yang berbunyi, jika orangtua sanggup bersabar di tujuh tahun pertama mendidik anak, maka ia akan memetik hasil setelahnya.
Sebaliknya, jika orangtua sedikit-sedikit menuruti keinginan anak, maka ke depan mereka akan direpotkan anak terus menerus sampa dewasa.Â
Sayang boleh saja namun jangan kapan saja dibolehkan. Ketika orangtua tidak membeli apa yang anak inginkan bukan berarti orangtua tidak sayang anak.
Di sini orangtua harus belajar mendidik nilai yang disisipkan kepada anak. Nilai-nilai penting haruslah didapat anak dari cara orangtua memperlakukan anak.
Jangan sampai anak tumbuh dewasa dalam kegelapan tanpa panduan. Ada anak laki-laki yang terus dimanjakan karena sayang, diperlakukan seperti raja sampa besar. Sampai piring makan saja tidak diajarkan untuk mencuci sendiri.
Apa yang terjadi kemudian? Anak laki-laki tumbuh dewasa hidup bak raja, sang ibu lalu menjadi babu setiap harinya mencuci piring hasil makan anak. Apakah hal seperti ini wajar atau kurang ajar?
Ada juga anak laki-laki yang tidak pernah melihat sang ayah membantu istrinya di dapur, lalu ketika dewasa ia menjadi suami dan melakukan hal yang sama. Nilai yang ia dapat saat kecil adalah akumulasi dari apa yang ia lihat.
Lantas, ada begitu banyak anak yang tidak menyayangi orangtuanya ketika dewasa. Padahal, saat kecil ia diperlakukan bak raja dan ratu, tapi ternyata rasa sayang yang didapat saat kecil adalah tipuan mata yang tidak dirasa dan membawa malapetaka saat dewasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H