Beragam pendapat muncul ketika kurikulum prototipe naik ke permukaan. Layaknya sebuah koin, ada dua sisi yang selalu menggambarkan kelayakan sebuah kurikulum untuk diterapkan.
Uniknya, pergantian kurikulum di Indonesia banyak menghadirkan rentetan stigma negatif, apalagi dengan urutan nilai PISA Indonesia berada pada titik terendah 10 paling bawah menjadi momok menyakitkan dalam wajah pendidikan Indonesia.Â
Apa Alasan Digantinya Sebuah Kurikulum?
Satu hal pasti yang selalu dijadikan alasan pergantian kurikulum adalah memperbaiki dan menyesuaikan. Namun, pertanyaannya, apakah produk perbaikan sebuah kurikulum sesuai dengan kebutuhan di lapangan?
Sebagai seorang pendidik, saya melihat pergantian kurikulum ibarat sebuah transaksi bisnis dalam dunia pendidikan.Â
Setidaknya tercatat sudah 10 x pergantian kurikulum di Indonesia.  Mulai dari kurikulum 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, 2013, dan sekarang masuk ke Kurikulum prototipe.Â
Ada 6 alasan kurikulum diganti: faktor perubahan sistem politik, sosial, budaya, ekonomi, dan sains. Keenam faktor ini berdiri dalam sebuah payung yang sama yaitu pancasila dan konstitusi 1945.
Pertanyaan besar bagi pembuat kebijakan, Apakah pergantiaan kurikulum ini memiliki tujuan dan arah yang jelas disertai dengan pendekatan yang terukur saat implementasi?
Perubahan kurikulum 1947Â ke 1952 menitikberatkan pada integrasi bahan pelajaran sesuai dengan kehidupan sehari-hari. Sementara kurikulum 1964 terfokus pada sains yang menitikberatkan pada perkembangan moral, intelektual, emosioanal dan fisik.
Lalu, kurikulum 1968 terpusat pada pembentukan karakter, moral, dan agama. Baru kemudian pada kurikulum 1975 pendekatan lebih terpusat pada orientasi tujuan, efisiensi waktu dan bahan, sehingga sikap dan perilaku siswa atau anak didik menjadi sebuah alat ukur keberhasilan.