Bagi orangtua, memiliki anak yang mandiri adalah sebuah kebahagiaan. Tapi, kemandirian tidak selalu membawa dampak positif jika tidak dilakukan di momen yang tepat.
Paradigma yang muncul dalam kultur masyarakat sering kadang diterjemahkan dengan cara yang tidak tepat.Â
Adakala ketika tidak berbenturan nilai adat maka dianggap benar dan anggapan buruk akan melekat jika melawan nilai yang sudah dipegang orang banyak.
Sebagai sebuah contoh, anak yang mandiri identik dengan nama baik, sedang anak yang selalu hidup dengan bantuan orangtua sering dianggap tidak baik. Apakah nilai kemandirian itu mutlak mengandung nilai baik?
Baik, coba kita kupas dengan seksama di sini. Anak yang mandiri tidak sepenuhnya membawa dampak baik, terlebih jika nilai kemandirian ditanamkan dengan cara dan waktu yang tidak tepat.
Melatih anak mandiri itu sesuatu yang baik. Kita tentu semua sepakat, tapi menjadikan anak mandiri dalam segala hal ini yang tidak baik dan kurang tepat. Antara anak dan orangtua ada ikatan batin secara fisik dan emosional. Fisik terlihat dari interaksi, sedangkan emosional hadir dalam ikatan yang tidak bisa dijelaskan namun jelas dirasakan.
Ikaan batin tidak bisa muncul tanpa adanya interaksi secara fisik. Artinya, seorang anak tidak bisa merasakan kasih sayang tanpa adanya aktivitas bersama yang terus menerus terjadi. Khususnya bagi seorang ayah, ikatan emosional sangat ditentukan dari kebersamaan dengan anak.Â
Berbeda dengan seorang ibu, dengan menyusui ikatan emosional bisa langsung hadir karena ada aktivitas yang melibatkan sentuhan dengan intensitas yang banyak bahkan saat hamil dalam kandungan ikatan ini sudah terbentuk. Sentuhan secara fisik akan berubah menjadi rasa sayang. Nah, saat orangtua terlalu cepat menanam nilai kemandirian ini akan berdampak tidak baik bagi anak.Â
Seorang anak yang terlalu cepat diajarkan untuk mandiri akan berkurang rasa emosionalnya dengan orangtua. Akibatnya, anak tidak merasa dekat dengan ayah dan ibu merasa mampu mengerjakan sesuatu sendiri.
Memang ini terlihat baik, tapi sebenarnya tidak. Kecerdasan seseorang itu terbentuk dari dua unsur, fisik dan non fisik.Â