Di sudut pelosok desa nan jauh hidup seorang petani yang umurnya mulai senja. Setiap subuh ia terbangun lebih awal dan selalu memulai aktifitas dengan berwudhuk dan lekas berjalan ke sebuah mesjid tua untuk menjawab panggilan azan. Tak lupa ia mengangkat kedua tangannya memohon ampunan kepada sang khalik dan mengucapkan syukur atas nafas yang terus ia pakai tanpa henti.Â
Selesai bermunajat di atas sajadah, ia beranjak keluar perlahan meninggalkan mesjid kembali ke sebuah gubuk tua yang telah ia tempati pulahan tahun lamanya. Ia mulai mengambil cangkul dan sabit menuju ke sawah sebelum matahari mulai tersenyum merekah. sesampainya disana, diturunkan cangkul yang dibawanya dan mulai membersihkan selokan agar air bisa masuk ke sawahnya. Dicabutnya rumput di sela-sela padi dan keong pun tak luput dari tangan gesitnya. tak terasa terik matahari mulai menyengat dan para petani lainnya mulai berdatangan.Â
Tepat disudut sawah berdiri sebuah pondok kecil. Disana tempat istirahat bagi petani yang sudah lelah. "sudah selasai, karni?" tanya petani yang baru tiba disawah. Pak Karni merupakan nama yang kerap menjadi panggilan akrab bagi petani lainnya. "sudah, pak. Baru saja selesai" jawab pak karni.
Pak karni mulai membersihkan kakinya diselokan sawah. Selain airnya bersih, banyak ikan yang berlalu lalang didalam selokan membuat area sawah kian subur. Wajar jika pak karni sering berwudhuk disana karena airnya sangat bening dan sejuk dipagi hari. Ia pun menarik kakinya dari selokan dan berjalan menuju pondok kecil yang berjarak 30 meter.Â
Tepat didalam pondok sajadah sudah terbuka, pertanda ada petani lain yang baru saja selesai shalat. Pak karni tak ingin menunggu lama dan mulai menghadap ke kiblat. Di desa ini petani tak pernah mengabaikan shalat. Saat tiba disawah setiap pagi mereka selalu mengawali dengan salah sunat dhuha kemudian melanjutkan aktifitas.Â
Diantara petani di desa, pak karni selalu datang lebih awal dari yang lain. Umurnya sudah berkepala lima, anak-anaknya semua tinggal di kota yang berbeda. Tiga dari mereka menetap disebuah kota yang berjarak 5 jam perjalanan dari kampung tempat pak karni dilahirkan. Sementara 2 lainnya sedang melanjutkan kuliah di Amsterdam. Dulu, saat anaknya masih kecil, pak Karni selalu memberi makan mereka dari beras hasil sawahnya. Bahkan ia sengaja menyimpan beras khusus hasil jerih payahnya hanya untuk konsumsi keluarga. Sebagian lainnya ia jual dan hasil penjualan beras ia tabung untuk biaya kuliah kedua anaknya.Â
Arif, anak keempat yang sedang kuliah di Amsterdam mengambil jurusan teknologi pertanian. Pak karni sangat ingin salah satu anaknya tetap melanjutkan aktifitas sawah yang sudah ia jalankan 40 tahun lamanya. Arif mendapatkan beasiswa dari sebuah universitas di Amsterdam. Ia sering membantu ayahnya di sawah  saat kecil bahkan sampai SMA. karena selalu menemani ayah kesawah, ia akrab dengan traktor sawah dan bertekad ingin menciptakan traktor yang lebih praktis. Banyak kompetisi yang ia ikuti saat SMA, salah satunya berhasil mengantarkan ia ke Amsterdam.Â
Bersambung....Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H