Mohon tunggu...
Masyitha Salsabila
Masyitha Salsabila Mohon Tunggu... Lainnya - Undergraduate Law Student

Passionate in international law, superhero movies, and soul music.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Urgensitas Pengesahan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law)

15 Oktober 2020   04:16 Diperbarui: 15 Oktober 2020   06:21 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Omnibus law atau yang sering disebut UU Sapu Jagat merupakan sebuah metode penyusunan peraturan perundang-undangan yang lebih dikenal dalam sistem hukum common law seperti Negara-negara Australia, Kanada, dan Amerika Serikat yang lebih dahulu telah mengadopsi metode perundang-undangan ini. 

Secara sepintas dari definisi tersebut sudah membuat penulis ragu dan menimbulkan beberapa pertanyaan seperti 'apa yang menjadi urgensi Indonesia yang notabenenya penganut civil law mengadopsi metode perundang-undangan Negara common law?'. Namun, telah menjadi amanat presiden Jokowi dalam masa jabatannya di periode ke-2 ini untuk mengenalkan dan mengadopsi metode omnibus law ke peraturan perundang-undangan Indonesia.

Omnibus law selain bermanfaat untuk mengatasi konflik peraturan perundang-undangan secara cepat, efektif, dan efisien, namun juga memiliki banyak kelemahan. Tiga kelemahan metode omnibus law menurut Adam M. Dodek adalah: 1) membuat parlemen tidak berdaya dan sulit meminta pertanggungjawaban pemerintah, 2) sulit bagi anggota parlemen untuk melakukan penelitian yang seimbang dengan penelitian yang dilakukan pemerintah, 3) ada kesan radikal karena mengubah dan mengasikan sekaligus banyak pasal dan banyak undang-undang. Dodek menyebut omnibus law sebagai metode yang abusive.[1]

Dalam laman website Program Legislasi Nasional Priolitas (prolegnas) DPR, ada dua RUU Omnibus Law, yakni RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian yang masih dalam tahap terdaftar dan RUU tentang Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) yang telah disahkan per 5 Oktober 2020, yang mengakibatkan banyak penolakan dari berbagai kalangan (buruh, praktisi, akademisi, dan pelajar) sebab mengandung pasal-pasal yang diduga dapat merugikan publik dan hanya menguntungkan pihak pebisnis.

Menurut analisis penulis terhadap RUU Omnibus Law Ciptaker ini sudah sepatutnya pemerintah (DPR dan Presiden) tidak terburu-terburu dan melibatkan pendapat publik sehingga tidak hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu, melainkan bermanfaat secara keseluruhan masyarakat. 

Sebab, berdasarkan proses pembentukannya, tidak sedikit akademisi dan praktisi yang menilai RUU Ciptaker ini terkesan terburu-buru, dipaksakan dan disembunyikan dari publik. Salah satu contohnya berdasarkan analisis dosen fakultas hukum Universitas Sebelas Maret, Dr. Agus Riwanto yang menilai RUU Ciptaker mengalami cacat formil sebab tidak sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.[2] 

Menurut analisa penulis terhadap kondisi yang berlangsung saat ini, RUU Ciptaker sejatinya tidak memiliki urgensitas untuk disahkan pada masa-masa pandemi seperti ini. Sebab, daripada DPR menyegerakan pengesahan RUU Ciptaker dengan dalih "untuk mengembalikan kestabilan ekonomi", sejatinya ada persoalan-persoalan lain yang memerlukan perhatian lebih seperti proses vaksinasi COVID-19, kesejahteraan buruh dan UMKM yang terdampak COVID-19, akses pelajar mengahadapi pembelajaran jarak jauh, meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, dan masalah-masalah nasional lainnya yang memerlukan solusi segera.

Penolakan publik terhadap RUU Ciptaker yang dilakukan ribuan mahasiswa dan buruh sepanjang bulan oktober di berbagai daerah ini menuai banyak pro dan kontra. Sebab, di tengah masa pandemi COVID-19 yang mengharuskan manusia berjaga jarak dengan manusia lain agar tidak tertular virus COVID-19, tentunya tidak dapat dilakukan saat demonstrasi. 

Namun menurut penulis, ketika suara rakyat tak lagi di dengar di ruang-ruang publik, sudah sepatutnya rakyat bersatu melalui media lain, seperti mengajukan judicial review ke MK, mengadakan konferensi-konferensi daring untuk mengkaji RUU ini, serta menghasilkan tulisan-tulisan artikel jurnal untuk mendorong pemerintah mendengar kembali suara rakyat Indonesia.

Adapun solusi apabila RUU ini tetap diterapkan ialah menerima bagi yang menerima, dan menolak bagi yang menolak. Seperti yang disebutkan sebelumnya, masih ada cara untuk menolak (membatalkan) RUU ini melalui keputusan MK terhadap judicial review yang diajukan. Adapun apabila RUU ini benar dibatalkan, maka menjadi tugas Pemerintah (DPR dan Presiden) untuk melakukan pengkajian lebih dalam sebelum memutuskan pengesahan RUU, serta memberikan waktu yang cukup kepada publik untuk ikut mengkajinya agar seluruh masyarakat Indonesia dapat memberikan aspirasinya guna tercipta Negara Indonesia yang demokrasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun