Selama tiga tahun penulis tinggal di Surakarta, permasalahan lingkungan yang paling terlihat ialah sampah. Di lingkungan penulis tinggal, tepatnya di daerah gulon belakang kuburan mojo masih terlihat banyak sampah berserakan di lahan bekas kuburan mojo tersebut. Hal ini mencerminkan kurangnya kesadaran masyarakat gulon dalam membuang, memilah, serta mengolah sampahnya. Selain itu dengan banyaknya PKL (Pedagang Kaki Lima) dan rumah-rumah makan yang berdiri, bisa jadi merupakan penyumbang utama sampah-sampah yang menumpuk tersebut.
Berdasarkan laman website resmi UNS (Universitas Sebelas Maret), telah adanya upaya dari teman-teman mahasiswa UNS guna mengatasi masalah sampah di lingkungan Jebres. Melalui program 'Jebres Berkilau' yang diinisiasi Raden Roro Ilma Kusuma Wardani dan keempat temannya melalui proposal "Kampung Sampah" dalam Program Kreatifitas Mahasiswa (PKM) pada juni 2019, Ilma dan keempat temannya bermaksud mengedukas masyarakat Jebres untuk peduli sampah serta memberdayakan potensi bank sampah yang ada, melalui empat program utama yakni; Raisa (Raih Sampah), Raina (Raih Minat), Raika (Raih Keterampilan), dan Saka Expo.
Walaupun lingkungan UNS (Universitas Sebelas Maret) terkenal akan Green Campus, yakni kampus yang peduli akan lingkungannya. Nyatanya untuk di lingkungan Fakultas Hukum sendiri masih banyak sampah-sampah berserakan di lorong-lorong kelas dan kantin. Hal ini penulis analisis dapat timbul dikarenakan kurangnya penyediaan tempat sampah di lingkungan fakultas serta kurangnya kesadaran mahasiswa untuk membuang sampah pada tempatnya. Selain itu air di kamar kecil gedung satu kerap kali tidak keluar, serta ember dan gayung yang juga kerap tidak ditemukan. Dengan begitu penulis harapkan, selain pembangunan gedung yang terus dilakukan di lingkungan fakultas, sudah seharusnya hal-hal kecil seperti penyediaan tempat sampah, gayung, ember, dan pembetulan saluran air di gedung satu fakultas hukum UNS diperhatikan.
Selain masalah-masalah lingkungan di sekitar fakultas dan tempat tinggal kos penulis, permasalahan lingkungan berupa pencemaran air di Sungai Bengawan Solo juga kerap kali mengundang mata media. Limbah-limbah pabrik yang mencemari air baku yang menjadi sumber air minum PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) Surakarta memaksa Instalasi Pengolahan Air (IPA) Jurug dan Jebres memberhentikan operasi olahan menjadi air bersih tersebut. Bayu Tunggul selaku Humas PDAM Surakarta menyatakan kasus pencemaran sungai bengawan Solo ini lebih parah dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini mengakibatkan air baku yang sudah diolah tidak layak konsumsi karena airnya masih berwarna kuning, berminyak dan berbau. Lebih lanjut Bayu menjelaskan padahal dua IPA tesebut seharusnya menyalurkan air ke Mojosongo, Ngoresan, Jebres, Puncangsawit, Jagalan dan Sangkrah dengan total dua belas ribu pelanggan.
Pencemaran air ini sempat penulis rasakan ketika musim kemarau tahun 2018, ketika masih tinggal di kos daerah Ngoresan dua tahun lalu. Air yang keluar dari kamar mandi kerap kali berwarna kuning keruh serta berminyak sehinggan lengket apabila digunakan untuk kebutuhan mandi. Hal ini bisa jadi merupakan akibat dari tercemarnya sumber air di daerah Ngoresan. Dengan begitu, lingkungan asri yang sehat, bersih dan indah untuk dipandang sejatinya belum tercapai baik di lingkungan Jebres, UNS, maupun kota Surakarta secara keseluruhan. Penulis berharap tumbuhnya kesadaran dari seluruh lapisan masyarakat terkhusus mahasiswa dan pemerintah kota Surakarta untuk segera memberikan solusi real guna mengatasi permasalah-permasalahan lingkungan tersebut.
Â
Sumber:
UNS diakses pada 22 Maret 2020 pukul 17.04
Detik diakses pada 22 Maret 2020 pukul 17.22
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H