Mohon tunggu...
Hayesta F. Imanda
Hayesta F. Imanda Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Merasa kurang itu penyakit hati yang bentuknya adalah sifat rakus dan tamak; tak ada obatnya selain mencoba untuk merasa cukup, bersyukur dan belajar untuk berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tiga Orang Saya Hormati, Satu Saya Benci

19 April 2012   06:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:26 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Penghormatan kepada seseorang lahir dari ketakziman hati, seperti cinta dia tidak bisa dipaksa dan ditundukkan. Rasa takzim itu hadir tentu bukan serta-merta dan tanpa sebab, beberapa faktor dan kondisi juga memengaruhi subyektivitas nilai yang dijadikan tolok ukur penilaian. Hormat bukanlah pekerjaan fisik seperti halnya menghormat bendera atau penghormatan pada komandan upacara, tapi lebih merupakan campuran antara kagum, segan, bangga, takzim, kepada seseorang. Dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan kata "orang" dalam judul tulisan adalah orang yang masih hidup, bukan seseorang yang sudah meninggal dunia pun bukan tokoh cerita atau tokoh fiksi lainnya. Pembatasan ini perlu mengingat begitu banyak "orang" yang sudah meninggal dan saya masih menaruh hormat pada mereka (semoga Allah mengampuni, menyayangi dan menempatkan mereka di antara 'orang-orang' yang beriman). Sungguh, dalam hidup saya hingga hari ini, hanya ada tiga orang yang saya hormati. Bukan karena saya merasa terhormat, sombong, angkuh, dan sifat-sifat yang demikian. Tapi hanya mereka yang mampu saya hormati, berusaha sekuat tenaga pun selain dari tiga itu tidak sanggup saya hormati, mereka adalah:

  1. Orang yang lebih tua dari saya. Selain kelebihan usia, berarti pula dia juga lehih lama hidup, lebih dulu menghirup udara, lebih lama menyerap pengalaman, lebih bisa bertahan menahan beban hidup, lebih tahan terhadap kekecewaan yang kadang melahirkan putus asa, lebih banyak belajar dan memberi pelajaran.
  2. Orang yang lebih berilmu dari saya. Dalam bahasa masyarakat orang yang berilmu acap disebut alim, ulama, ulil abshar, arif,  ahli hikmah, cendekia, intelek, berpendidikan, sarjana, pintar, cerdas, dan beberapa kata serupa yang menandakan seseorang yang menggunakan potensi pikiran dan akal sehatnya. Mereka saya hormati dengan penuh takzim karena dengan ilmunya bisa memberi banyak bagi masyarakat sosialnya, bisa berperan aktif memajukan beradaban dan kemanusiaan.
  3. Orang yang lebih sukses atau berhasil dari saya. Mereka dengan semua potensinya telah menunjukkan hasil nyata dan memberi manfaat bagi diri dan juga masyarakatnya. Termasuk di dalamnya adalah mereka yang memiliki anak lebih banyak, lebih berharta, lebih berhasil dalam usaha, lebih berpengaruh dalam masyarakat, lebih banyak teman dan relasi, punya lebih banyak keahlian, lebih berpengalaman, punya jabatan di atas saya, dan kelebihan-kelebihan serupa lainnya.

Tiga orang di atas dengan sepenuh takzim saya hormati. Meskipun saat bertemu orang-orang dimaksud jarang saya sungkem (bersalaman sembari cium tangan), bersalaman pun kadang terlewat, rasa hormat itu melekat di hati dan perasaan. Mereka memberi saya rasa hormat dan perasaan ikut berharga bisa mengenal, bisa bertemu, terlebih bisa berbincang dan berguru. Tanpa mereka sadari, kelebihan yang membuat saya hormat telah meringankan dan membebaskan saya dari memikirkan perihal mereka. Cukup saya mengambil sebanyak-banyaknya pelajaran dari kelebihan itu, mudah-mudahan semua itu memberi mereka nilai di hadapan Tuhan. Dalam judul di atas tersebut "tiga orang saya hormati, satu saya benci". Satu orang saja dan itu sudah terasa sangat banyak dan membuat saya bersedih, terbebani secara moral dan spiritual. Mereka adalah orang-orang yang perilakunya tidak bisa dipertanggungjawabkan secara moral, etika, akhlak (dalam bahasa agama saya). Seseorang yang dengan semua potensi yang dimilikinya, tidak mampu menahan sifat kemanusiaan yang bisa dikatagorikan secara substansial sebagai perbuatan tercela, aib, hina, tabu dan yang serupa. Mudah-mudahan dengan tulisan ini, saya bisa mengingat dan terus belajar untuk bisa menghormati sebanyak mungkin orang dan meminimalkan bertemu dan berdekatan dengan orang-orang yang saya benci. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun