Indonesia, negeri dengan semboyan "Bhineka Tunggal Ika" yang berazaskan "Persatuan Indonesia", seolah menjadi medan perang dengan terjadinya konflik yang berbau "SARA". Sederet peristiwa mengoyak rasa kemanusiaan, saat darah tertumpah, rumah-rumah dihancurkan, beribu-ribu orang terpaksa tinggal dipengungsian.
Banyak pihak bisa disalahkan; massa yang beringas, aparat keamanan yang terkesan melakukan pembiaran, pemerintah daerah yang tak tanggap situasi, adanya provokator, arogansi mayoritas, dan sederet analisa tertulis di media massa dan jurnal ilmiah. Sayangnya, semua itu seolah menguap dari satu peristiwa dan mendadak muncul kembali saat kejadian semacam itu terulang lagi.
Mungkin juga Indonesia sebagai bangsa, lupa kalau sudah membiarkan warganya bersikap primordial. Betapa pertama kali saya sadar bersuku Lampung, adalah saat setamat SMU membantu teman mengurus surat kehilangan di kantor Polisi, saat saya untuk pertama kali mendapat pertanyaan: "suku?" dari petugas. saya sempat tertegun saat itu, sebelum akhirnya saya jawab: "bapak Lampung, ibu Jawa."
Kenyataan bahwa saya bersuku Lampung, menyadarkan saya untuk banyak bertanya dan belajar tentang adat istiadat Lampung. Maklum, sebelumnya saya tinggal bersama nenek dari ibu di Magelang - Jawa Tengah dan tak pernah berpikir tentang Jawa atau Lampung selain sebagai nama dua provinsi di Indonesia.
Kemudian rasa kesukuan itu pun sedikit demi sedikit disadari, banyak peristiwa yang kemudian saya pahami dalam konteks "suku"; Bagaimana saat melintas di depan Makorem 043 Gatam, merasa heran melihat pagar markas tentara yang berarsitektur bali; Berpikir pula tentang nama desa, kecamatan yang jelas menunjukkan asal daerah penghuninya, ada Yogyakarta, Wonosobo, Wates, Pariaman, Sidomulyo, Balinuraga, Balipatok, dan semua itu tercantum dalam dokumen negara; Bagaimana oleh-oleh khas Lampung, keripik pisang, ber-merk "Suseno" yang dibuat oleh WNI keturunan Cina; Bagaimana nama-nama jalan lebih banyak menggunakan nama orang ber-suku Jawa ketimbang Lampung.
Era Otonomi Daerah lebih menghadirkan nuansa primordial itu, saat istilah "desa" dirubah dengan "pekon" dan "tiuh", istilah dalam bahasa Lampung yang sepadan dengan "deso" di Jawa. Begitupun saat Pilkada, muncul jargon-jargon yang menggambarkan ke-suku-an: "asli pribumi", "wonge dewe", "urang awak", "wong kite gale", "ki mak kham sapa lagi", yang terpampang di spanduk, baleho, kaos, stiker pasangan calon.
Mengandaikan Indonesia bebas dari persoalan SARA, seharusnya pertanyaan "suku" tak perlu lagi ada dalam dokumen ketatanegaraan. Cukup pertanyaan "kebangsaan" untuk sekedar memperjelas mana yang WNI dan yang bukan. Karena untuk WNI keturunan, pertanyaan "suku" menjadi tidak berguna saat yang berlaku di negara asalnya adalah marga atau silsilah keluarga, seperti di Cina dan Arab.
Indonesia, negeri nusantara, seharusnya sudah akrab dengan persoalan SARA. Karena di setiap pulaunya terdapat masyarakat yang memiliki adat-budaya sendiri-sendiri. Meskipun perbedaan adalah keniscayaan Nusantara masih bisa bersatu, sebab di setiap pulau terdapat mata air tawar yang rasanya sama. Kesadaran kalau Indonesia berbeda-beda suku, agama, ras, adat-istiadat, bahasa, secara alami sudah didapat sejak pertama kali setiap anak bisa mengenal lingkungannya. Sudah saatnya pertanyaan "suku" tidak lagi muncul dalam pergaulan sehari-hari terlebih dalam formulir dan dokumen kenegaraan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H