Mohon tunggu...
budi windarto
budi windarto Mohon Tunggu... -

Pensiunan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sia-sia, Jadi Tua Tanpa Dewasa!

23 Februari 2017   23:21 Diperbarui: 23 Februari 2017   23:27 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Kalau si bungsu, adiknya yang di rumah, saya dan istri dapat dengan tenang menginap di rumah mertua. Tapi kalau si sulung, kakaknya yang di rumah, wah, kami tidak berani meninggalkan rumah. Pasti kacau. Piring kotor berserakan. Cucian menumpuk, Lantai kotor. Halaman tak disapu. Lampu dibiarkan menyala”, begitu curhat seorang bapak teman sekantor. Bapak ini berputra dua, putri semuanya. Yang sulung kelas XI SMA, sedang si bungsu kelas 8 SMP.

Pelajaran apa yang dapat ditarik dari curhat itu? Si bungsu, si muda usia, ketika ditinggal orang tuanya mudik ke tempat mertua, dapat diandalkan. Rumah tertata rapi. Piring bersih. Cucian terseterika rapi. Lantai dan halaman bersih. Sementara si  sulung, si tua usia justru sebaliknya. Keadaan rumah porak poranda. 

Kisah ini menandakan bahwa si muda usia jauh lebih dewasa, lebih berkualitas dari pada si kakak. Seharusnya si sulung, yang lebih tualah yang mestinya dijadikan andalan. Namun kenyataannya bertolak belakang. Ini berarti jumlah usia, lebih tua tidak menjadi jaminan bahwa yang bersangkutan lebih berkualitas, lebih dewasa, dari pada yang muda usianya.

Memang pada umumnya, orang beranggapan mereka yang lebih tua lebih dewasa pula. Anggapan yang demikian, dalam kenyataan keseharian tidak selalu benar begitu. Ternyata banyak orang menjadi tua tanpa menjadi dewasa. Banyak orang menjadi tua, menjadi sepuh, tapi sepah, “sepa”, sepi, tak berbobot, “ènthing”, ringan, tak banyak isinya. Dalam kenyataan dapat terjadi, mereka yang muda usia, malah memiliki kedewasaan. Sebab untuk menjadi dewasa memang tidak membutuhkan banyaknya jumlah usia. Ini pelajaran pertama yang dapat dipetik.

Yang kedua, kedewasaan jauh lebih bermakna, berarti, bernilai dan berharga, dari pada ketuaan. Dan yang ketiga, untuk menjadi dewasa membutuhkan  perjuangan dan latihan. Kedewasaan adalah pilihan. Sementara ketuaan berlangsung begitu saja, tanpa perebutan. Ketuaan otomatis, dengan sendirinya terjadi.

Kedewasaan meliputi berbagai segi. Kedewasaan jasmani, rohani, intelektual, emosional dan sosial. Selain kedewasaan jasmani, kedewasaan segi lainnya mesti ditumbuhkembangkan. Kedewasaan  jasmani akan tercapai asal makan minum dan sehat. Tambah usia tambah matang tubuhnya. Sementara kedewasaan rohani, kemampuan mengalami dan menemukan Tuhan dalam kehidupan, perlu latihan. Kedewasaan emosional, kemampuan mengendalikan dan mengungkapkan perasaan mesti diperjuangkan juga. Demikian pula kedewasaan akal dan sosial.

Siapa pun yang mau dewasa, mesti belajar bersikap, berperilaku, bertindak dewasa dalam pelbagai seginya. Dengan begitu ia menjadi berkualitas, berbobot, bermutu kepribadian dan hidupnya. Dan buah kedewasaan adalah sukacita. Ya, hanya mereka yang dewasa mengalami sukacita!

Coba cermatilah para pimpinan (politik dan agama) negeri ini, dari pusat sampai daerah. Mereka sekedar menjadi tua tanpa menjadi dewasa atau sekalipun masih muda usia namun paripurna kedewasaannya? Cermatilah apa yang mereka tebar dan taburkan! Mereka yang dewasa mengalami sukacita, maka sukacitalah yang ditebar-taburkan. 

Sedang mereka yang tua usia kekanak-kanakan, - orang jawa menyebut anak itu “laré”,  nalaré sakarepé dhéwé, nalarnya semau sendiri – tidak dewasa, maunya memaksakan keinginan sendiri, egois, mau menang sendiri, semau gue. Ya yang demikian pulalah yang  ditebar-taburkannya. Mereka yang dewasa menaburkan kedewasaannya. Yang kekanak-kanakan sekalipun lanjut usia, menebarkan kekanak-kanakannya pula. Sebab hanya yang dimilikilah yang dapat diberikan!

Sia-sialah menjadi tua tanpa menjadi dewasa! “Sampun sepuh, ning sepah, sepa, sepi!” Sudah tua tapi tak berasa, sepah, sepa, sepi, tak berisi! Sia-sialah!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun