Mohon tunggu...
Pendidikan Pilihan

Metode Pembelajaran Karakter Generasi Digital

19 Maret 2019   02:35 Diperbarui: 19 Maret 2019   02:47 1493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kedua, fokus pada pembelajaran seumur hidup, bukan untuk ujian. Ini karena hal terpenting bukan hanya tentang apa yang mereka ketahui ketika mereka lulus, tapi juga untuk mencintai pembelajaran seumur hidup (Arifin, 2015). 

Para guru tidak perlu khawatir siswanya lupa tanggal peristiwa penting dalam sejarah, karena mereka dapat mencari informasi itu kapan saja dengan melalui buku maupun web. Para guru perlu mengajari mereka cara belajar, gemar membaca dan menulis, bukan hanya cara mengetahui.

Ketiga, berdayakan para siswa untuk berkolaborasi. Kerja sama dan kolaborasi ini penting untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan. 

Berdasarkan pengalaman Uri Treisman, seorang profesor matematika di Universitas California-Berkeley, ia menemukan bahwa banyak mahasiswa kulit hitam yang awal mula nilai kalkulus-nya sangat jelek, lalu ketika konsep pembelajaran disusun agar semuanya bisa saling bekerja sama, prestasi para mahasiswa kulit hitam dapat meningkat pesat. Di sisi lain, kolaborasi juga akan mengasah sisi sensitifitas terhadap keberagaman dan saling menghormati satu sama lain.

Keempat, fokus pada pembelajaran konsep kesahihan, daripada konsep transfer pengetahuan. Kesahihan, adalah tentang nilai pada struktur pernyataan, berfokus pada kepaduan rangkaian argumen dalam menurunkan simpulan akhir (Pranoto, 2016). 

Inilah hal yang perlu diasah lewat pendekatan yang dilakukan guru saat berinteraksi dengan pemikiran muridnya. Dengan demikian, siswa tidak akan terjebak dengan maraknya informasi hoaks dan narasi radikal pemecah kebhinnekaan NKRI.

Berdasarkan Laporan Bank Dunia tentang hasil tes membaca murid kelas IV SD, Indonesia menduduki peringkat terendah di antara negara-negara Asia. Hasil tes menyebutkan, siswa Indonesia hanya mampu memahami 36% dari materi bacaan, mereka kesulitan menjawab soal-soal uraian yang butuh penalaran dan analisis (Aan Hasanah, 2015). 

Data ini seolah mengkonfirmasi betapa lemahnya literasi kita yang diikuti dengan maraknya masyarakat yang terjebak dalam konsumsi informasi hoaks. Terbukti dengan maraknya berita hoaks yang bahkan lebih viral daripada berita lainnya.

Inilah sekadar gambaran konsep sekaligus metode pembelajaran karakter generasi digital menuju masyarakat beradab. Hal ini karena karakter cakap berpikir dan bernalar yang telah diasah sejak dalam pembelajaran, bukan hanya membuat murid mampu mengolah setiap informasi (pengetahuan) yang didapat tapi terbiasa dengan keberagaman. 

Kecakapan bernalar ini juga akan membuat murid memiliki kecakapan berkomunikasi, yang selanjutnya bermuara pada kecakapan sosial yang sangat dibutuhkan dalam berinteraksi di era global sekarang. Ini menjadi modal penting dalam membangun masa depan Indonesia yang maju, mandiri, beradab, berbudaya, serta tidak mudah terpecah-belah oleh berita hoaks dan paham radikal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun