Berdasarkan teori generasi Karl Mannheim (1923), para ahli sosiolog membagi manusia menjadi beberapa generasi; Generasi Era Depresi, Generasi Perang Dunia II, Generasi Pasca-Perang Dunia II, Generasi Baby Boomer I, Generasi Baby Boomer II, Generasi X, Generasi Y (Milenial), dan Generasi Z.
Istilah Generasi Z, menjadi semakin populer setelah digunakan saat presentasi oleh agen pemasaran Spark and Honey pada 2014, yang menyebutkan bahwa Generasi Z (disebut juga generasi digital) adalah mereka yang mulai lahir di tahun 1995.Â
Lebih lanjut, Bappenas (2018) menyebutkan bahwa jumlah milineal kini sebanyak 90 juta orang dari 260 juta penduduk Indonesia. Tentu saja kuota ini akan terus bertambah dari waktu ke waktu, dan generasi yang akan banyak mengisi bonus demografi 2030-2045 masuk golongan generasi digital. Tentu kita berharap, generasi digital memiliki karakter kuat sehingga siap menghadapi tantangan Revolusi Industri 4.0 dan bonus demografi di era mendatang.
Perlu dipahami, karakteristik kuat generasi digital adalah kefasihannya dalam menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. Oleh sebab generasi digital lincah menggunakan teknologi canggih, maka mereka hidup dengan limpahan informasi (pengetahuan).Â
Mereka mudah mengambil dan menyebarkan informasi tersebut. Bahkan, tak jarang begitu asik bermain gadget sehingga rentan terbangun pola pikir instan, individualistis, tidak mandiri, dan tidak respek terhadap keberagaman.
Padahal, menjadi pribadi berkarakter mandiri, toleran, bertanggungjawab, bekerja keras, dan cerdas merupakan kunci sukses menghadapi Revolusi Industri 4.0 yang sedang kita hadapi. Karenanya, pendidikan karakter generasi karakter perlu diarahkan pada konsep pembelajaran untuk mengasah kegiatan bernalar dan berargumentasi, yang mana menjadi pondasi terbangunnya kecerdasan, sikap mandiri dan tidak anti-keberagaman.Â
Hanya saja, seringkali ini justru cenderung tidak menjadi fokus utama pendidikan di era informasi sekarang ini. Alhasil, kemampuan bernalar kritis, memecahkan masalah, dan rekonsiliasi permasalahan siswa menjadi minim.Â
Anak sekadar bisa menghafal materi tanpa memiliki kecakapan karakter literer yang butuh penalaran yang mencakup: kegiatan mencerna, menganalisis, dan menyampaikan kembali dengan baik. Inilah di antara tantangan yang perlu dijadikan fokus pendidikan karakter saat ini.
Generasi digital penuh pengetahuan, namun berisiko lemah dalam karakter cakap berpikir dan menerima perbedaan. Mereka cenderung tahu banyak hal, namun sulit mengkonstruksi pengetahuannya dalam kehidupan nyata.Â
Oleh karena itu, perlu adanya revolusi metode pembelajaran yang harus kita lakukan. Pertama, kurangi metode ceramah. Hal ini karena mereka sudah bosan dengan gaya ini. Menurut Felder dan Soloman (1993): "Pelajar di zaman informasi mempunyai kecenderungan gaya belajar aktif, sequential, sensing, dan visual."