Istilah klenik seringkali dikaitkan dengan dunia mistis maupun perdukunan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI), klenik juga dimaknai serupa yakni kegiatan perdukunan (pengobatan dan sebagainya) dengan cara-cara yang sangat rahasia dan tidak masuk akal, tetapi dipercayai oleh banyak orang. Kendati demikian, makna tersebut salah kaprah (salah yang sudah umum) yang tidak bersesuaian dengan cara pandang masyarakat Jawa.
Untuk memahami istilah klenik, saya mengunjungi Mbah Noto Diharjo (70) di dusun Miriombo Wetan, Desa Giripurno, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang. Ia yang akrab disapa Mbah Noto merupakan sesepuh desa sekaligus menjadi tempat warga masyarakat desa untuk menanyakan berbagai hal mengenai adat Jawa.
Menurutnya masyarakat Jawa itu memang acap kali disebut klenik, "Tiyang Jawi punika sejatosipun asring dipun sebat klenik" (Orang Jawa itu sejatinya memang sering disebut klenik).
Kendati demikian Mbah Noto menjelaskan bahwa yang dimaksud klenik bukan seperti yang dipahami oleh orang kebanyakan, "Ingkang dipun sebat klenik punika mboten kados ingkang dipunwastani kalian tiyang-tiyang. Klenik punika maksut ipun pating klenik, werni-werni ingkang dipun penggalih kalian tiyang Jawi jaman kina" (Yang disebut klenik itu bukan seperti anggapan banyak orang. Klenik (istilah) tersebut maksudnya pating klenik, bermacam-macam yang dipikirkan oleh orang Jawa zaman dahulu).
Dalam bahasa keseharian, pating klenik dimaknai sebagai suatu hal yang kecil tapi banyak dan bertebaran. Oleh karena itu, klenik yang dimaksud oleh Mbah Noto adalah kehidupan masyarakat Jawa yang memperhatikan hal-hal kecil sebagai sesuatu yang penting.
Mbah Noto kemudian mencontohkan tindakan-tindakan tersebut, "Contonipun, tiyang Jawi jaman kino punika mbok menawi bade nglamaraken tiyang setri, kadang mlebet griyo kemawon kedah nganggo sikil tengen riyen. Lajeng dinten antuke sowan, dandanan, daharan, ugi sak werni-werninipun kedah nderek adat Jawi" (Contohnya, orang Jawa jaman dahulu ketika akan melamar perempuan, terkadang masuk ke rumah pun harus menggunakan kaki kanan dahulu. Kemudian hari kedatangan, makeup, makanan, dan lain sebagainya harus mengikuti adat Jawa).
Sebagaimana yang disampaikan oleh Mbah Noto, adat Jawa memang sedemikian rumitnya. Soal waktu misalnya, masyarakat Jawa menggunakan perhitungan waktu dari jam, hari, bulan, mangsa (musim), tahun dan windu untuk menentukan hari baik. Belum lagi perihal makanan adat yang digunakan dalam upacara-upacara tertentu mulai dari beragam jenis tumpeng, ambeng, larakan, ingkung, dan jenis-jenis lainnya yang terkait erat dengan simbol-simbol tertentu.
Ihwal klenik yang dianggap berkonotasi dengan perdukunan barangkali memang wajar, berkaitan dengan banyaknya praktik-praktik perdukunan yang memanfaatkan pengetahuan masyarakat Jawa. Sebagai contoh adalah mengenai neptu atau yang akrab disebut weton.
R.Tanaya dalam Kabudayan Paugeraning Tahun Jawa menjelaskan bahwa neptu berasal dari bahasa Arab "noktah" yang artinya titik atau tanda. Dalam hal ini, noktah artinya tanda yang berupa bilangan yang diletakkan menurut urutan abjad atau abujid.
Masih dari sumber yang sama, abjad atau abujid merupakan urutan huruf Arab (alif, ba, jim, dal = a, b, j, d). Konon pada zaman dahulu istilah abjad atau abujid digunakan untuk menyebut huruf Arab itu. Oleh karena itu dapat diasumsikan bahwa kelahiran noktah/neptu/weton setelah masuknya Islam di Pulau Jawa.