Waktu itu saya cukup bersemangat dan antusias dalam mengikuti kegiatan itu. Contoh yang sangat menarik dan patut untuk ditiru. Memang, karena ada berbagai perbedaan --letak geografis di dataran rendah dan pegunungan-- namun saya yakin dengan cara yang serupa, desa saya pun dapat memulai untuk mengatasi sampah. Namun apa mau dikata, ada perbedaan lain yang sepertinya cukup mendasar, yakni pola pikir yang akhirnya hanya menjadikan program tersebut sebatas jalan-jalan semata.
Dengan berbagai pengalaman tersebut, kini saya meyakini bahwa untuk menyelesaikan persoalan sampah membutuhkan kesadaran kolektif, baik masyarakat maupun pemerintah. Dalam hal ini, kesadaran individu menjadi dasar yang penting untuk menumbuhkan kesadaran kolektif tersebut. Perihal cara, jika melihat apa yang dilakukan oleh KUPAS Desa Panggungharjo sebenarnya begitu sederhana. Begitu pula dengan biaya yang tidak wah-wah amat. Murah dan terjangkau. Namun begitu, sekali lagi kesadaran bersama merupakan aspek yang mustahil untuk ditinggalkan.
Tanpa adanya kesadaran, menyelesaikan persoalan sampah yang dihasilkan setiap hari itu rupanya memang tak semudah membalikkan tangan. Kasus di desa saya mungkin hanyalah contoh dari ribuan desa lain di Indonesia. Sampah di kota mungkin lain lagi.Â
Dengan jumlah penduduk yang lebih banyak, saya kira sampah yang dihasilkan pun akan lebih banyak. Jika tidak segera diatasi, di masa yang akan datang kemungkinan besar akan mendatangkan persoalan yang kian rumit. Pencemaran baik udara, air, maupun tanah yang kemungkinan besar ujung-ujungnya adalah ancaman untuk kesehatan manusia. Dengan demikian, sampah yang merupakan limbah manusia itu pada akhirnya akan membuat manusia menjadi sampah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H