Mohon tunggu...
Mustopa
Mustopa Mohon Tunggu... Petani - Petani

Bercerita dari desa

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Sampah, Bikin Manusia Kian Nyampah

25 Juni 2023   20:56 Diperbarui: 25 Juni 2023   21:12 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tumpukan sampah. Sumber : Pixabay

Betapa malunya saya ketika seorang kawan tag nama saya di media sosial karena persoalan sampah di desa saya. Ternyata setelah saya verifikasi di tempat yang disebutkan memang benar adanya. Di sebuah sungai kering sampah plastik yang membungkus sampah lain --plastik kemasan, pampers, pembalut, dan sebagainya-- berserakan dan menumpuk di tempat tersebut. Pemandangan itu nampak dari jalan yang berada di sampingnya.

Di desa saya yang hanya berpenduduk sekitar 2.700 jiwa dan dengan luas 350 ha, sampah menjadi persoalan yang kian hari semakin rumit. Kebiasaan warga masyarakat dalam membuang sampah sembarangan seperti diatas, menjadi pemandangan yang tak sedap pada musim kemarau. Kemudian ketika musim hujan datang akan menambah tumpukan sampah di sungai-sungai atau menyelinap di lahan-lahan pertanian.

Kebiasaan lainnya adalah membuang sampah di kebonan (lokasi sekitar rumah warga), mengumpulkan dan membakarnya, atau menjadikannya sebagai bahan bakar di dapur. Di kebonan, terutama sampah plastik yang tak membusuk bertahun-tahun itu akan mencemari tanah. Jika dicangkul maka akan bertemu dengan plastik yang dibuang bertahun-tahun lalu. Jika tak terbenam dalam tanah maka pemandangan di sekitar rumah menjadi tak sedap.

Warga yang sedikit sadar membuang sampah di kebun tidak baik itu kemudian mencari jalan lain, mengumpulkannya untuk dibakar. Rupanya dampak yang timbul semakin parah. Baunya sampai kemana-mana, nafas menjadi sesak, jika asap mengenai mata terasa pedih. Saya sering mencium bau sampah yang dibakar tetangga, tak enak, sungguh tak enak. Cara ini terkadang digunakan secara kolektif, ibu-ibu yang bergotong royong membersihkan kampung itu kemudian menyelesaikannya dengan membakar sampah tersebut.

Sadar tak membuang sampah di kebonan dan membakarnya, metode lain kemudian muncul. Menggunakannya sebagai bahan bakar di dapur. Hal itu karena sebagian besar warga masyarakat di desa saya masih menggunakan luweng (tungku) untuk memasak. Mengenai hal ini, saya seringkali memprotes istri saya. "Njuk gemrubuk, cepet le urip" (Menjadi berkobar-kobar, cepat nyalanya), katanya.

Persoalan tersebut kemudian menjadi salah satu kritikan dan usulan yang saya sampaikan kepada pemerintah desa. Saya dan beberapa kawan lain yang merasakan hal yang serupa sadar jika kebiasaan yang telah membudaya dan dilakukan oleh sebagian besar masyarakat itu akan sangat sulit diatasi secara mandiri. Oleh karena itu, kami berpendapat bahwa pemerintah desa merupakan jalan tengah yang dapat ditempuh dengan segala kewenangan dan kemampuannya.

Upaya itu rupanya tidak berjalan dengan mudah. Berbicara kepada pemerintah desa sama halnya dengan memberitahu warga masyarakat biasa. Sama-sama ngeyelnya, sama-sama abai dengan persoalan dan dampaknya. Namun 2-3 tahun yang lalu ada secercah harapan dengan terbentuknya bank sampah. Rupanya pengelolaan sampah ini juga telah menjadi program daerah yang kemudian memaksa desa untuk mengadakan program wajib.

Pasca terbentuknya bank sampah, seringkali ibu-ibu PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga) terlihat berkumpul dan berdiskusi mengenai pengelolaan sampah tersebut. Katanya sampah plastik yang dihasilkan oleh warga masyarakat akan dibeli kemudian dijual kembali kepada pengepul. Berapa harganya saya tak tahu pasti. Kabar-kabar tersebut hanya sesekali saya dengar ketika istri saya turut sibuk dengan kegiatan bank sampah itu.

Beberapa bulan kemudian, nampaknya eksistensi bank sampah itu mulai menyurut. Meski istri saya masih mengumpulkan plastik dirumah, namun rupanya kegiatan di tingkat desa mengalami kendala. Beberapa waktu kemudian, saya mendengar konfirmasi dari pemerintah desa mengenai macetnya kegiatan bank sampah. Persoalanya pun cukup kompleks, mulai dari struktur organisasi, sistem, dan biaya. Waktu itu, saya melihat raut muka putus asa dari beberapa perangkat desa.

Di tahun-tahun berikutnya, desa masih menganggarkan bank sampah, meski eksistensinya nol besar. Saya menduga, karena memang masih menjadi program wajib pemda atau pemerintah pusat. Oleh karena itu, pemerintah desa barangkali tidak berani untuk meniadakan anggaran tersebut, meski mereka pun tak mampu untuk menjalankan program. Beberapa upaya lain demi berjalannya program itu sepertinya juga telah dilakukan. Salah satunya adalah dengan studi banding di desa lain yang telah mampu menjalankan program. Namun demikian, sampai sekarang bank sampah hanya menjadi program tertulis saja.

Dalam program desa itu, saya pernah sekali ikut kegiatan studi banding. Waktu itu kami studi banding di desa Panggungharjo, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Di desa ini sampah dikelola oleh Kelompok Usaha Pengelolaan Sampah (KUPAS), salah satu lembaga desa yang saat ini di bawah naungan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Panggung Lestari. Pada mulanya, sampah juga menjadi persoalan rumit di desa ini. Namun semenjak berdirinya KUPAS pada tahun 2013 yang lalu, persoalan tersebut bukan hanya selesai saja namun mengangkat desa ini menjadi salah satu desa maju di Indonesia. Berkat inovasinya tersebut, pada tahun 2014, Panggungharjo menjadi desa terbaik di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun