Sedangkan dian petromaks memang tidak membutuhkan modifikasi, namun alat penerangan ini cukup berat, kurang praktis dan membutuhkan biaya yang lebih mahal. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, kedua alat tersebut jarang digunakan. Masyarakat lebih memilih menggunakan perlengkapan yang lebih praktis, yakni oncor (obor dari bambu) dan blarak (daun kelapa kering).
Kini setelah listrik masuk desa perlengkapan tersebut jarang dimiliki oleh masyarakat. Selain karena memang jarang digunakan, sulitnya minyak tanah menjadi penyebab punahnya alat penerang masa lalu itu.Â
Ketika listrik padam, masyarakat pun lebih memilih menggunakan lilin atau lampu emergency. Oleh karena itu, anak-anak yang lahir pasca masuknya listrik tidak lagi mengenal perlengkapan tersebut. Namun di desa saya, sesekali anak-anak masih dikenalkan dengan perlengkapan tersebut setidaknya saat takbiran hari raya Idul Fitri maupun hari raya Idul Adha.Â
Perubahan zaman terasa begitu cepat. Saya merasa masa kanak-kanak itu baru kemarin, namun nyatanya sudah berlalu hampir tiga dekade. Kemungkinan besar, dua dekade yang akan datang keadaan sudah berubah entah seperti apalagi.Â
Apa yang hari ini kita nikmati mungkin juga pada masa yang akan datang hanya tinggal kenangan, seperti halnya dian sentir yang saya jumpai ketika kanak-kanak. Ada kesedihan tersendiri ketika hal-hal tersebut telah menghilang, namun inilah kehidupan akan terus berjalan. Sebagai manusia kita memang tertuntut untuk selalu mengikutinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H