Oleh Abdul Halim Fathani
KETIKA masih usia dini, biasanya orang tua, terutama seorang ibu berikhtiar mengajari anak yang dicintainya untuk membilang. Bilangan yang biasa diajarkan adalah bilangan mulai dari 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10. Dalam mengajarkannya, biasanya dipraktikkan untuk menghitung jumlah barang yang ada di sekitarnya, menghitung benda-benda rumah tangga, atau menghitung banyaknya makanan yang ada di depannya. Secara bertahap, anak akan diajari bilangan-bilangan seterusnya. Bilangan puluhan, ratusan, ratusan ribu, dan seterusnya. Selain belajar membilang, anak juga diajari untuk membaca dan menulis. Hal ini biasanya lebih sering disebut dengan istilah calistung (membaca, menulis, dan menghitung).
Sewaktu belajar matematika di bangku SD, SMP, SMA, hingga SMA tentu tidak dapat lepas dari bilangan. Semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang, maka materi bilangan yang dipelajari pun akan semakin meningkat. Di bangku perkuliahan untuk program studi Pendidikan Matematika atau Matematika Murni, tentang bilangan ini dipelajari secara khusus dalam matakuliah Teori Bilangan. Meskipun, tidak menutup kemungkinan dalam matakuliah juga akan dijumpai materi bilangan (secara umum).
Ketika kita belajar matematika, seyogianya tidak hanya mempelajari materi yang tersurat saja. Misalnya mempelajari aritmetika, meliputi penjumlahan, perkalian, pengurangan, dan pembagian, sebaiknya kita tidak hanya pandai mengoperasikan empat operasi bilangan tersebut saja. Namun, lebih dari itu, materi yang dipelajari tersebut menyimpan pesan yang tersirat, yang menarik untuk “direnungkan”.
Fitrah Manusia
Dalam tulisan ini, penulis mencoba mengulas pesan tersirat yang terkandung dalan Bilangan Asli, dengan menggunakan buku yang ditulis Abdussakir (2007:191) sebagai rujukan. Perhatikan pernyataan Leopold Kronecker “Tuhan yang menciptakan bilangan asli, dan kita hanya mengembangkannya”. Merujuk pernyataan tersebut, menurut Abdussakir semua bilangan sebenarnya sudah ada dan disediakan oleh Allah swt. Manusia hanya menemukannya dan kebetulan dimulai dari himpunan bilangan yang paling sederhana, yaitu Bilangan Asli.
Pada dasarnya, dalam matematika dikenal ada beberapa himpunan bilangan. Yakni himpunan bilangan kompleks, himpunan bilangan rea, himpunan bilangan imajiner, himpunan bilangan rasional, himpunan bilangan irasional, himpunan bilangan cacah, himpunan bilangan bulat, himpunan bilangan asli, himpunan bilangan positif dan negatif, dan seterusnya.
Dalam konteks matematika, terkait bilangan asli, Abdussakir (2007:190) menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:
a)Bilangan asli merupakan hasil seleksi secara bertahap dari himpunan bilangan kompleks,
b)Himpunan bilangan asli hanya memuat bilangan-bilangan positif,
c)Semua bilangan asli masih termasuk bilangan cacah, bulat, rasional, real, dan kompleks,
d)Tidak semua bilangan cacah, bulat, rasional, real, dan kompleks merupakan bilangan asli.
Paradigma bilangan di atas, jika dibuat analogi tentang karakter kepribadian manusia akan diperoleh beberapa pemikiran sebagai berikut:
a)Himpunan bilangan kompleks, mewakili semua aneka sifat yang dimiliki manusia, yakni jelas (real) dan tidak jelas (imajiner), baik dan buruk, serta positif dan negatif. Kalau dalam konteks matematika disebut bilangan kompleks, maka dalam konteks kehidupan disebut Manusia Kompleks.
b)Selanjutnya, ada himpunan bilangan real (jelas). Dalam konteks kehidupan, dapat dianalogikan sebagai manusia yang jelas (tidak imajiner atau real), namun masih memiliki sifat baik dan buruk, positif dan negatif, serta rasional dan irasional. Inilah yang dinamakan Manusia Real.
c)Selanjutnya, diperoleh himpunan bilangan rasional. Dalam konteks kehidupan, dianalogikan sebagai manusia rasional, namun masih menyimpan sifat baik dan buruk, positiif dan negatif, serta manusia bulat dan pecahan.
d)Kemudian, diperoleh himpunan bilangan bulat, yang artinya adalah manusia utuh (bulat), bukan manusia pecahan, namun masih memiliki sifat negatif dan positif.
e)Setelah manusia utuh, adalah manusia cacah. Manusia yang sudah tidak memiliki sifat negatif, namun masih mengandung nol (sia-sia). Oleh karena itu, yang terakhir adalah dengan membuang manusia yang memiliki sifat nol (sia-sia). Sehingga meuncullah manusia asli.
Berdasarkan pemikiran uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Manusia asli itu memiliki ciri-ciri sebagai berikut: merupakan manusia biasa (tetap kompleks), merupakan manusia yang jelas (tidak imajiner), merupakan manusia yang rasional (bukan irasional), merupakan manusia yang utuh/bulat (bukan pecahan), merupakan manusia yang tidak sia-sia (bukan nol), dan merupakan manusia yang selalu bersifat positif.
Menarik sekali memang, pendapat Abdussakir di atas jika kita renungkan. Sudah semestinya, kita dapat membangun kepribadian menjadi layaknya Bilangan Asli. Bukan bilangan nol, bukan bilangan negatif, bukan bilangan pecahan, bukan bilangan irasional, dan bukan bilangan imajiner. SEBALIKNYA, kita mesti memiliki kepribadian layaknya bilangan positif, bilangan bulat, bilangan real, dan bilangan rasional.
Hemat penulis, uraian di atas dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar, yakni kelompok HITAM dan kelompok PUTIH. Kelompok putih merupakan kelompok manusia asli (baca: bilangan asli). Sedangkan kelompok hitam merupakan kelompok yang “terlarang”. Artinya, kepribadian dalam kelompok ini semestinya kita hindari. Dan, yang penting, kita tidak semestinya untuk menjadi layaknya Bilangan Kompleks. Iala kelompok campuran yang terdiri atas kelompok putih dan hitam. Kita harus bisa memilih secara tegas, yang memilih kelompok putih. Atau kalau masih ada “warna” kelompok hitam, sudah waktunya untuk kembali ke kelompok putih. Kembali kepada fitrah manusia.
Apabila paradigma ini kita hubungkan dengan konsep kecerdasan seseorang, dapat diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: pertama, Kita harus menjadi seperti bilangan asli yang berarti kembali ke fitrah manusia. Dengan kata lain, setiap individu manusia telah ditaqdirkan oleh Allah swt untuk menjadi manusia yang terbaik dengan keunikannya masing-masing. Meminjam istilah yang dipakai Thomas Armstrong bahwa “Setiap anak (individu) itu cerdas”.
Kedua, Setelah mengetahui jenis kecerdasan yang menjadi keunikan kita masing-masing, tantangan selanjutnya adalah bagaimana kecerdasan tersebut dapat dikembangkan secara utuh (bulat). Dengan kata lain, kita harus melakukan ikhtiar secara maksimal, bukan setengah-setengah (analogi bilangan pecahan), tidak boleh sia-sia (bilangan nol), harus selalu berorientasi terhadap hal yang postif, dan nyata (bukan hanya khayalan).
Jika demikian, sangat dimungkinkan fitrah kecerdasan yang kita miliki, dapat berkembang dengan baik. Setiap individu dapat menjadi manusia cerdas yang berlandaskan pada kecerdasan alaminya. Mungkin, ada beberapa individu yang masih “bingung” mengidentifikasi jenis fitrah kecerdasannya sehingga sampai besar pun, masih belum maksimal dalam pengembangannya. Jika demikian, harus kembali ke fitrah kecerdasannya. Segera temukan potensi kecerdasan Anda, dan jangan lupa segera kembangkan.[ahf].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H