Mohon tunggu...
ABDUL HALIM FATHANI
ABDUL HALIM FATHANI Mohon Tunggu... -

Pengamat Pendidikan. Menempuh pendidikan program sarjana di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, pada program studi Matematika (lulus 2006). Kemudian melanjutkan studi Program Magister Universitas Negeri Malang, pada program studi Pendidikan Matematika (lulus 2011). Aktivitas sehari-hari yang ditekuni -di samping mengajar- adalah membuat tulisan yang kemudian dikirimkan ke pelbagai media massa/media online maupun yang diterbitkan dalam bentuk buku. Saat ini juga aktif menjadi Editor Buku.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bermain Sekaligus Belajar Matematika

21 Januari 2015   13:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:41 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Abdul Halim Fathani

KEBERHASILAN anak pada usia dini merupakan pijakan awal bagi keberhasilan pendidikan pada jenjang berikutnya. Anak pada Usia dini merupakan “usia emas” bagi seseorang, artinya bila seseorang pada masa itu mendapat pendidikan yang “benar”, maka ia memperoleh kesiapan belajar yang baik yang merupakan salah satu kunci utama bagi keberhasilan belajarnya pada jenjang berikutnya. Pembelajaran pada anak seharusnya diselenggarakan dengan menggunakan strategi pembelajaran berbasis kemampuan atau potensi anak. Dalam praktiknya, pembelajaran pada anak menganut paradigma bermain sambil belajar atau belajar sambil bermain (ya bermain, ya belajar).

Bermain sekaligus belajar merupakan dua aktivitas yang harus dimaknai sebagai satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan yang memiliki makna ‘anak belajar melalui bermain’. Dengan kata lain, aktivitas-aktivitas anak lebih ditekankan pada ciri-ciri bermain. Porsi bermain tampak lebih menonjol daripada belajar. Melalui bermain itulah anak akan memperoleh berbagai kemampuan, seperti kemampuan berkomunikasi, berbahasa, bersosialisasi, memanajemen emosi, dan berpikir logis-matematis.

Slogan bermain sambil belajar sangat sesuai dengan karakteristik kurikulum untuk pendidikan anak. Ini karena kegiatan bermain mampu menyentuh seluruh aspek perkembangan anak. Saat bermain anak memiliki kebebasan untuk berimajinasi, mengeksplorasi, dan berkreasi. Pada saat bermain itulah, aspek-aspek perkembangan fisik motorik kasar dan halus, aspek emosional, aspek kognitif/intelektual, dan aspek sosial berkembang dalam situasi yang menyenangkan. Anak usia dini mencakup usia dari lahir hingga delapan tahun, meskipun di Indonesia dibatasi hingga usia enam tahun.

Anak secara instrinsik memang termotivasi untuk selalu bermain. Itu karena, dalam bermain, mereka menikmati kegiatannya, merasa kompeten melakukan sesuatu. Mereka terus belajar mendapatkan pengalaman baru yang dipadukan dengan apa yang telah diketahuinya. Namun, strategi bermain dalam pendidikan anak usia dini ini ternyata belum sepenuhnya dipahami para orangtua maupun para guru/pendamping. Bahkan, tidak jarang mereka menolak kegiatan bermain dalam pendidikan prasekolah. Justru lebih senang kalau anak mereka dikenalkan sejak dini dengan kegiatan membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Mereka, masih beranggapan bahwa anak tidak mungkin dapat belajar apabila anak tersebut menghabiskan waktu hanya untuk bermain. Padahal, perlu diyakini bahwa bermain memberikan sumbangan yang berarti bagi perkembangan kemampuan akademik anak.

Strategi belajar melalui bermain ini, menitikberatkan pada cara-cara mengasah, menstimulasi multiple intelligences pada anak sejak usia dini. Apabila mengacu pada teori kecerdasan yang dicetuskan Gardner, maka setiap individu anak dipastikan memiliki kecerdasan matematik. Lwin, dkk (2008:43) mendefinisikan kecerdasan matematik adalah kemampuan untuk menangani bilangan dan perhitungan, pola, dan pemikiran logis dan ilmiah. Dapat diartikan juga sebagai kemampuan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kebutuhan matematika sebagai solusinya. Anak dengan kemampuan ini akan senang dengan rumus dan pola-pola abstrak. Tidak hanya pada bilangan matematika, tetapi juga meningkat pada kegiatan yang bersifat analitis dan konseptual.

Dalam penyelenggaraan proses pembelajaran Matematika di kelas, seorang guru seyogianya memiliki paradigma yang utuh mengenai kecerdasan majemuk ini. Yakni, seorang guru harus menyadari bahwa setiap individu anak memiliki kecenderungan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, anak tersebut dalam mengikuti proses pembelajaran Matematika juga memiliki strategi belajar yang berbeda-beda, yang pastinya dipengaruhi oleh kecenderungan kecerdasan yang dimiliki.

Menurut Adiningsih (2008:2) ketika anak sedang belajar matematika, maka tidak ada bedanya dengan menyanyi, menari, menggambar, melompat, dan sebagainya. Yakni sama-sama mudah dan sama-sama menyenangkan. Tidak berbeda dengan bentuk kemampuan yang lain, belajar matematika merupakan aktivitas yang secara alamiah disenangi anak. Dalam paradigma anak, belajar itu bermain dan/atau bermain itu belajar. Belajar matematika dianggap sebagai “bermain” matematika.

Pendapat ini senada dengan apa yang disampaikan Pakar Perkembangan masa kanak-kanak, Dr. Dorothy Einon, bahwa anak-anak justru cenderung bisa belajar efektif jika mereka diberi kesempatan untuk berlari-lari, menari, melompat, berteriak, dan menenangkan nafasnya sebelum duduk diam untuk memusatkan perhatian pada suatu tugas. Hal ini terjadi karena aktivitas fisik akan membuat sirkulassi darah ke seluruh tubuh menjadi lancar, termasuk sirkulasi darah yang memasok oksigen ke otak. (Adiningsih, 2008:13).

Menurut Gardner (2003), kecerdasan logis-matematik mencakup tiga bidang yang saling berhubungan, yaitu matematika, ilmu pengetahuan (sains), dan logika. Itulah sebabnya, kecerdasan logis-matematik tidak hanya terkait dengan bilangan, tetapi juga pada huruf. Anak yang mempunyai kecenderungan kecerdasan logis-matematik, selain senang mengutak-atik bilangan juga senang dengan permainan bahasa yang melibatkan konsep berpikir sebab-akibat, bertentangan, maupun pola-pola logika yang lain.

Berpijak pada hal inilah, maka ketika belajar matematika sesungguhnya sangat mungkin untuk didekati melalui berbagai variasi strategi pembelajaran. Atau sebaliknya, dengan kecenderungan kecerdasan matematika yang tinggi juga dapat mempengaruhi atau memciu perkembangan kecerdasan lainnya pada anak. Karena, jenis kecerdasan yang lain tersebut juga memerlukan kemampuan anak dalam menghting dan menganalisis. [ahf]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun