Mohon tunggu...
ABDUL HALIM FATHANI
ABDUL HALIM FATHANI Mohon Tunggu... -

Pengamat Pendidikan. Menempuh pendidikan program sarjana di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, pada program studi Matematika (lulus 2006). Kemudian melanjutkan studi Program Magister Universitas Negeri Malang, pada program studi Pendidikan Matematika (lulus 2011). Aktivitas sehari-hari yang ditekuni -di samping mengajar- adalah membuat tulisan yang kemudian dikirimkan ke pelbagai media massa/media online maupun yang diterbitkan dalam bentuk buku. Saat ini juga aktif menjadi Editor Buku.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tauhid dalam Matematika

3 Februari 2015   00:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:55 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Oleh ABDUL HALIM FATHANI

MATEMATIKA adalah cermin peradaban manusia. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa sejarah matematika adalah sejarah peradaban manusia. Para ahli matematika dapat berbangga, karena pengetahuan yang mereka ciptakan (matematika), lebih dari pengetahuan yang lain, baik dari segi eksaknya, maupun dari segi kegunaannya (mathemathics is the queen of science).

Juniardi Arjanto dan Eko Untung Handjatmeko dalam bukunya berjudul Matematika: Membangun Dunia, Menuju Tuhan (UIN Syarif Hidayatullah, 2002) menerangkan bahwa dalam filsafat Islam klasik, matematika merupakan salah satu cabang utama. Dalam pandangan dunia Islam tradisional, subjek dan objek pengetahuan bersifat hierarkis, yang mana realitas objek terentang dari yang paling materi sampai kepada Realitas Mutlak, yakni Tuhan. Realitas wujud ini pun berdiri paralel dengan realitas ilmu/sains. Sehingga ilmu/sains pun memiliki hierarki mulai dari yang terendah sampai yang tertinggi.

Jadi secara filosofis, tataran ontologis paralel dengan tataran epistemologis. Dengan perspektif seperti ini pula, kita akan dapat memahami bahwa semua ilmu yang bercabang-cabang itu saling berhubungan satu dengan yang lainnya, dan semuanya bergerak ke atas menuju yang Tertinggi, yakni Tuhan. Dengan kata lain, tujuan tertinggi semua ilmu adalah “menuju Tuhan”. Dengan demikian, ilmu-ilmu itu semuanya diklasifikasikan oleh para ilmuwan-filosof Muslim dengan kesadaran yang mendalam akan kehadiran Tuhan. Melewati ilmu-ilmu inilah, kita, para manusia, mencari kebenaran, Tuhan.

Dari sudut sebaliknya dapat dikatakan bahwa pada ilmu-ilmu pulalah kita dapat menemukan kebenaran yang disebarkan Tuhan. Bukankah Tuhan mengatakan bahwa Dia menyebarkan tanda-tanda-Nya di segenap penjuru alam dan pada diri manusia sendiri? Sebagaimana firman Allah swt dalam al-Qur’an surat Fushshilat [41] ayat 53 yang artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”

Ilmu-ilmu layaknya seperti cabang-cabang pohon yang aslinya satu. Yang satu merupakan bagian tak langsung dari yang lain. Jadi, tidak ada lagi pemisahan antara ilmu satu dengan yang lainnya, apalagi antara ilmu-ilmu yang dianggap ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum. Kehadiran Tuhan dan kemenyatuan ilmu inilah yang membedakan peradaban Islam dan peradaban yang dikembangkan di dunia Barat. Dalam prinsip ilmu Islam, semua ilmu ditujukan semata-mata untuk Tuhan. Semua perjalanan menuju-Nya adalah proses penyempurnaan kemanusiaan kita sendiri. Proses menjadi manusia seutuhya, manusia sempurna, Insan Kamil.

Ketika kita mempelajari, memahami, mendalami matematika dengan melewati perspektif paradigma ini, maka kita akan secara otomatis memposisikan diri sebagai bagian yang sedang bergerak menuju Tuhan, di mana pada saat bersamaan, banyak orang-orang di sekitar kita juga tengah bergerak melalui pendalaman akan cabang ilmu yang lain, namun kita menyadari posisi kita dan sekaligus menyadari posisi pihak lain yang berupaya keras dan sungguh-sungguh (jihad) menuju Tuhan.

Kesadaran akan posisi masing-masing seperti ini akan membawa kita pada kedudukan saling menghormati. Dan kita akan mengetahui, manakala seseorang tengah menguasai berbagai cabang ilmu dengan kesungguhan dan karya nyata, maka tentulah ia menampilkan kesan lahiriah sebagai orang saleh, orang berilmu yang lebih mulia ketimbang lainnya. Dengan kata lain, penghargaan dan pemuliaan kita terhadap seseorang, dapat dikur (dalam maknanya yang paling sederhana), sangat tergantung pada kesungguhan orang itu dalam berjalan menuju-Nya, serta juga karya nyata yang telah disumbangkannya kepada kemanusiaan secara tulus ikhlas. [ahf]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun