ADA kabar menarik yang berasal dari dunia binatang. Kabar ini saya kutip dari Pengantar yang ditulis Hernowo (2002) dalam buku “Sekolah para Juara: Menerapkan Multiple Intelligences di Dunia Pendidikan” yang merupakan terjemahan buku berjudul Multiple Intelligences in the Classroom -2nd edition.
Menurut cerita, para binatang besar ingin membuat sekolah untuk para binatang kecil. Mereka, para binatang besar itu, berencana menciptakan sebuah sekolah yang di dalamnya akan diajarkan mata pelajaran memanjat, terbang, berlari, berenang, dan menggali.
Anehnya, mereka tidak dapat mengambil kata sepakat tentang subjek mana yang paling penting. Mereka akhirnya memutuskan agar semua murid mengikuti seluruh mata pelajaran yang diajarkan. Jadi, setiap murid harus mengikuti mata pelajaran memanjat, terbang, berlari, berenang, dan menggali.
Sekolah pun dibuka dan menerima murid dari pelbagai pelosok hutan. Pada saat-saat awal dikabarkan bahwa sekolah berjalan lancar. Seluruh murid dan pengajar di sekolah itu menikmati segala kebaruan dan keceriaan. Hingga tibalah pada suatu hari yang mengubah keadaan sekolah itu.
Tersebutlah salah satu murid bernama Kelinci. Kelinci jelas adalah binatang yang piawai berlari. Ketika mengikuti kelas berenang, Kelinci hampir tenggelam. Pengalaman mengikuti kelas berenang ternyata mengguncang batinnya. Lantaran sibuk mengurusi pelajaran berenang, si Kelinci ini pun tak pernah lagi dapat berlari secepat sebelumnya.
Setelah kasus yang menimpa Kelinci, ada kejadian lain yang cukup memusingkan pengelolah sekolah. Ini melanda murid lain bernama Elang. Elang, jelas sangat pandai terbang. Namun, ketika mengikuti kelas menggali, si Elang ini tidak mampu menjalankan tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Akhirnya, ia pun harus mengikuti les perbaikan menggali. Les itu ternyata menyita waktunya sehingga ia pun melupakan cara terbang yang sebelumnya sangat dikuasainya.
Demikianlah, kesulitan demi kesulitan ternyata melanda juga ke diri binatang-binatang lain, seperti bebek, burung pipit, bunglon, ular, dan binatang kecil lain. Para binatang kecil itu tidak mempunyai kesempatan lagi untuk berprestasi dalam bidang keahlian mereka masing-masing. Ini lantaran mereka dipaksa melakukan hal-hal yang tidak menghargai sifat alami mereka.
Bagaimana dengan “Binatang” Manusia?
Merenungi cerita di atas, saya teringat kejadian yang dialami oleh adiknya teman saya, yang sedang studi di sekolah tingkat atas, di salah satu sekolah favorit di Jawa Timur. Sekarang, ia dalam kondisi bingung, ingin melanjutkan kuliah, sementara ia tidak memiliki modal yang cukup. Sedangkan mau bekerja, ia minim keterampilan yang sesuai di daerahnya, bertani.
Pada saat masih “usia” SMP sampai awal SMA, ia dikenal sebagai anak yang sering menjuarai bidang melukis dan kaligrafi, baik juara tingkat sekolah, tingkat pesantren, hingga pernah tingkat kabupaten. (Mungkin) akibat perhatinnya yang “lebih” terhadap seni melukis dan kaligrafi itulah, yang menyebabkan ia mengalami prestasi yang terus merosot (dalam pandangan umum). Bahkan, di akhir kelas XI (sebelas) ia sempat dijadikan bahan pembicaraan dalam rapat kenaikan kelas, “dinaikkan atau dibiarkan tinggal kelas”, begitulah opsi yang diberikan kepala sekolah untuk menanggapi prestasi anak tersebut yang semakin menurun. Sementara, ia juga pernah mewakili sekolahnya untuk mengikuti lomba melukis tingkat provinsi, meskipun akhirnya ia hanya masuk dalam babak final dan tidak mendapat juara.
Ternyata, hasil rapat kenaikan kelas tersebut, tetap memutuskan anak tersebut naik kelas bersyarat. Syaratnya, ia diberi fasilitas khusus oleh sekolah untuk les privat tambahan untuk tiga bidang studi yang diujikan dalam ujian nasional (UN). Kebijakan ini bisa dimaklumi, karena pihak sekolah ingin agar label sekolah favorit yang selama ini sudah dikenal, tidak tercoreng gara-gara ada satu siswa yang gagal lulus dalam UN. Lalu, bagaimana dengan masa depan anak tersebut?