“If we did all the things we are capable of doing, we would literally astound ourselves.” - Thomas Alva Edison - Melihat gaya khas yang sering diperagakannya, Tukul seperti terinspirasi oleh Darwin yang mengatakan “survival of the fittest”. Aksinya menggambarkan kompetisi dunia entertainment yang mengharuskannya menciptakan ciri khas agar tetap survive. Menggunakan kekuatan komedikalnya, ia malah memanfaatkan kekurangannya untuk menciptakan tawa. Dalam talk show TV, ia pun tidak berpretensi menjadi host yang serba rapi dan terukur, dan mengembalikan segala kebersahajaannya itu ke laptop. Singkatnya, Tukul mengabaikan kekurangannya dan mengeksploitasi kekuatan komedikalnya hingga meraih kesuksesan. Hidup terlalu singkat untuk disesaki dengan wacana keserbakekurangan dan disibukan dengan upaya menutupi kelemahan. Berlandaskan itu, kini berkembang pendekatan yang lebih memfokuskan pada sisi positif atau kekuatan sebagai dasar untuk tumbuh dan berkembang. Perencana strategi organisasi misalnya mulai menggunakan cara berpikir dengan melihat sisi positif dari sumber daya yang dimiliki sebagai kekuatan yang mendukung keberhasilan, dengan menggunakan dasar-dasar Appreciative Inquiry (AI). AI berusaha menemukan hal-hal terbaik yang terdapat pada orang, organisasi, dan dunia di sekelilingnya. Pendekatan yang dikembangkan David Cooperrider dan Suresh Srivastva ini tidak memandang organisasi sebagai suatu masalah yang harus dipecahkan melainkan sebuah misteri untuk diungkapkan. Prosesnya adalah memancing seluruh anggota organisasi membicarakan kisah-kisah keberhasilan organisasi secara antusias melalui siklus 5D: Definition, Discovery, Dream, Design, dan Destiny. Definition berupa pemilihan sebuah topik yang akan dieksplorasi dan akan menjadi arah perubahan sekaligus kenyataan akhir yang akan terwujud. Discovery adalah tahap pencarian yang tekun dan ekstensif untuk memahami ”apa yang terbaik” dan ”apa hal baik yang telah dilakukan” organisasi. Dream berupa eksplorasi mengenai ”apa yang mungkin”. Design melibatkan penentuan pilihan mengenai ”apa yang seharusnya dilakukan” dan langkah-langkahnya. Destiny berfokus pada komitmen serta langkah ke depan baik secara personal maupun organisasi untuk mendorong inovasi sebagai jalan mewujudkan masa depan. [caption id="attachment_79033" align="aligncenter" width="299" caption="Focus on Strength"][/caption] Selain itu, sebagai pengganti analisis SWOT (strength, weakness, opportunity, threat), dikembangkan SOAR (Strength, Opportunity, Aspiration, Result). Analisisnya melibatkan identifikasi kekuatan (strength) yang dimiliki dan mencermati kesempatan (opportunity) yang menguntungkan ketimbang memfokuskan pada masalah, defisiensi, kelemahan dan ancaman seperti biasa dilakukan dengan SWOT. Fokus bukan pada masalah dan pemecahan masalah (problem solving) tetapi pada penemuan kekuatan dan amplifikasinya. Dalam AI, imajinasi menjadi hal penting: bagaimana karyawan mengkhayalkan masa depan organisasi akan menjadi kekuatan penentu keberhasilan organisasi. Ini seperti Hukum Tarik-menarik (The Law of Attraction) yang dinyatakan Byrne yaitu bahwa pikiran positif akan menarik pikiran positif, dan kebaikan akan mengundang kebaikan. Didasari hasil riset Gallup, konsep Strength-Based atau Talent-Based HR Management (TBHRM) menjadi alternatif atas konsep HR management lama.. Konsep lama berfokus pada pemetaan kesenjangan (gap) antara kompetensi yang seharusnya dimiliki seseorang dengan kompetensi aktualnya. Kesenjangan adalah kelemahan (weakness). Serangkaian tugas dan pelatihan kemudian diberikan kepada karyawan untuk memperbaiki kelemahan itu. Upaya ini seperti menegakan benang basah. Penelitian John Maxwell menunjukkan bahwa kesesuaian orang pada jabatannya (jobfit) ditentukan 80% oleh kekuatannya (strength, abilities, talents), 15% pada potensi yang masih bisa dilatih (trainable potential), dan hanya 5% pada kelemahannya (weakness). Dengan kata lain, perbaikan atas kelemahan seseorang hanya berkontribusi 5% bagi keberhasilannya melaksanakan pekerjaan. Konsep Strength-Based menganggap manusia lahir dengan kekuatan alamiahnya (in-born strength). Melalui pendidikan dan pengalaman, karunia itu berproses dan mengkristal hingga menjadi kekuatan (strength) atau talent. Tugas organisasi adalah menemukan kekuatan itu, melipatgandakannya dan mendayagunakannya. Hal ini selaras dengan Peter Drucker yang menegaskan pentingya kepemimpinan yang mampu menemukenali kekuatan dalam organisasi, menyeleraskannya dalam harmoni, dan mendayagunakannya untuk kemajuan organisasi: the task of leadership is to create an alignment of strengths, making our weakness irrelevant. Seperti Tukul, jika ia berpikiran negatif pada dirinya sendiri atau berupaya sepanjang hidup untuk memperbaiki kekurangannya itu, kita mungkin tidak melihat kristalisasi keringatnya telah menyulap wong deso hingga memiliki rezeki kota. Pendekatan Fokus pada Kekuatan menawarkan cara berdamai dengan apa yang kita sebut sebagai ”ketidaksempurnaan kehidupan”. Kita tidak dapat memaksakan semua kekuatan ada dalam satu wujud. Kita perlu membiasakan diri hidup berdampingan dengan ketidaksempurnaan. Bahkan sejatinya semua yang ada di alam ini sudah sempurna seperti adanya, tidak ada yang perlu ditambahi atau dikurangi. Fokus pada Kekuatan, dengan demikian, adalah pilihan bijak yang selaras dengan alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H