Sekilas memang seperti cerita dalam tokyo love story. Aku juga baru menyadarinya. Setelah aku kembali menonton serial jepang itu di youtube. Dulu, tentu saja aku menontonnya di televisi Indonesia. Tapi itu sudah lama sekali hingga aku lupa jalan ceritanya. Saat itu aku masih kecil dan belum melalui ceritaku sendiri, yang hampir mirip itu.
Ada beberapa bagian yang aku alami sama dengan cerita antara Rika dan Nagao. Aku mengenal dia saat pertama kami kerja di kantor yang sama. Dan aku tahu dia telah menjalin hubungan dengan seseorang yang ia cintai diluar sana. Namun karena kesamaan nasib di perantauan, kami tinggal serumah. Jangan mencurigaiku, kami baik – baik saja dengan kehidupan kami masing – masing. Iya awalnya seperti itu.
Hingga pada akhirnya kami mulai saling bergantung. Aku lebih tepatnya. Meski dia tak menyatakan perasaan apapun, hanya kedekatan dan kehangatan itu yang aku rasakan. Rasa cemburu yang kadang muncul saat dia pergi untuk seseorang diluar, tanpaku. Pernah suatu ketika aku putuskan untuk berpisah. Namun ia tak mau. Dia merasa nyaman dengan kebersamaan kami, tanpa ikatan apapun. Dan aku luluh, selalu.
Dia memang tak seperti tokoh Nagao yang berbohong saat menemui seseorang yang ia cintai. Justru sebaliknya, dia terang – terangan membawa seseorang itu ke rumah. Bayangkan bagaimana perasaanku saat itu. Aku marah, tentu saja. Tapi toh tidak membuatnya menyerah. Mungkin dia memang ingin membuatku marah, namun tak berdaya untuk pergi meninggalkannya. Dan saat seperti itu aku hanya bisa makan, menghabiskan satu big cup ice cream kesukaanku, di kamar sendirian. Meski serumah, kami punya kamar sendiri.
Sampai tiba masa perpisahan itu. Dia pindah tugas. Sayang sekali, berbeda dengan apa yang terjadi pada Rika. Justru aku yang ditinggalkan. Tapi mungkin itu waktu yang tepat untuk mengakhiri drama yang terjadi diantara kami berdua.
“aku pergi,, aku akan merindukan kebersamaan ini, bersamamu”
Aku hanya tersenyum mendengar kalimat perpisahan itu. Sehari sebelum dia pergi. Di tepian pantai pasir putih yang selalu menjadi tempat hiburan kami di akhir minggu.
“kita sudah seperti keluarga, dan akan terus menjadi keluarga”
Iya, keluarga. Itu yang selalu dia katakan. Hubungan kami memang hubungan kekeluargaan, tak lebih dari itu, menurutnya. Aku berusaha tegar dan menyadari posisiku.
Syukurlah hari disaat dia pergi, aku juga ada tugas keluar kota. Hingga tak ada pelukan terakhir di bandara. Atau ciuman maksa ala cinta dan rangga di cerita film indonesia yang laris itu. Aku juga tak perlu menunggu dia hingga ratusan purnama. Karena kabar terakhir yang aku baca di media sosial, dia telah menikah dan beranak. Selamat ya untuk dia, meski aku tak hadir dalam pernikahan itu, aku bisa merasakan kebahagiaan yang dulu aku impikan, bersamanya.
Sesaat setelah menghabiskan serial tokyo love story, aku baru menyadari betapa bodohnya aku ketika itu yang terus berharap pada seseorang yang tidak mencinta. Berbagai usaha yang telah aku lakukan, nyatanya tak mampu membuatnya beralih pandang. Namun tak pula dia membiarkanku pergi saat aku mencapai puncak kesabaran. Sekali lagi bodoh aku! Harusnya aku pergi sebelum dia pergi. Tapi begitulah sebuah cerita, yang kadang kita tak sadar saat memainkannya.