Tadinya saya sudah malas tulis – menulis. Apalagi untuk sesuatu yang ndak penting dan ndak berguna bagi nusa dan bangsa ini. Tapi entah kenapa, ada saja sesuatu yang memaksa saya untuk menulis. Dari hal kecil, sampeeeeeeeeeee yang membesar. Ya, paling ndak untuk mengungkap sesuatu yang ndak bisa diungkapkan dengan ucapan kata – kata mulut manis saya. Lidah itu kan ndak bertulang. Kalo tulisan begini kan.. meski menyindir tapi kan ndak setajam silet, eh ucapan saya maksudnya. Syukur – syukur ada yang kesindir. Kalo ndak, ya terpaksa saya kembali yang harus menelannya.
Ceritanya gini, the last holiday, as usually.. saya kan shopping di salah satu pusat perbelanjaan terbesar dan terkemuka di kota ini.Tepatnya di supermarket. Bayangkan saja suasana seperti di Carr*4, lott*mart, hyperm*rt, dan semacamnya. (maaf saya berbohong, boro - boro ada begituan, kalo pun ada ndak segede itu). Ya seperti biasa pula saya mutar muter nyari kebutuhan pokok mengitari sepanjang koridor yang berbelak belok sambil melongok ke rak – rak yang berjajar lumayan rapi. Kebetulan saya ini memang orangnya ndak terencana. Jadi apa yang ingin dibeli, bisa jadi tidak terbeli. Malah sesuatu yang ndak terpikir bisa jadi duluan masuk keranjang belanjaan.
Nah, untung saya ingat. Ada sesuatu yang kurang. Iya, hampir saja lupa. Garam. Terpaksa saya beraksi lagi. Muter – muter, keliling – keliling sok tau gitu. Meski bukan seorang analis, saya bisa menganalisa, secara logika si penjual meletakkan garam pasti ndak jauh – jauh dari sebangsanya. Meicin kan sodara deket tuh. Jadi, saya langsung meluncur ke arah deretan bumbu – bumbu dapur. Sebenarnya sih ada mbak – mbak pelayan (sebutan untuk orang yang melayani. Kalo demikian adanya sama halnya saya adalah seorang pelayan) yang lagi ngerumpi di sekitar situ. Hanya saja, saya gengsi dong, nanya – nanya garam. Tar dikira saya jomblo (lha bukannya iya Mas?). Ato disangka ditinggal istri jadi TKW ke luar negri (kalo ini sih pujian, lha wong saya belum laku kok). Nah praanggapan terakhir nih yang rada ngeselin. “Mas, cari yang asin – asin, emang mo kawin ?”.
Nah, daripada daripada yang ada di pikiran saya tersebut, maka saya putuskan untuk tidak buru – buru nanya. Tapi, setelah mondar mandir kayak setrikaan, saya pikir – pikir dengan kepala dingin dan pertimbangan waktu yang kian memburu, dengan terpaksa, catet ya.. TERPAKSA, saya nanya juga pada kerumunan mbak – mbak pelayan tadi.
“mbak, garamnya dimana ya ?”
“habis”
Singkat, jutek, dan menyebalkan. Rasa dongkol saya tiba – tiba memuncak melebihi tinggi gunung meja (salah satu nama gunung yang populer disini). Pertama, karena garamnya habis tentu saja. Dan kedua, wadohhh ne pelayan ndak pernah di training kale ya. Mana service excelent nya ??? tapi memang demikian, jujur ya, sepanjang masa saya disini (dikota ini), belum ketemu lho sama yang namanya pelayan (sekali lagi sebutan untuk orang yang melayani, dibidang apa saja termasuk pemerintahan) yang sepertinya lulus training “pelayanan”. Ngaca dong mas, emang situ pernah senyum melayani pelanggan ? yang ada senyum – senyum sendiri alias uedan. Ya, pelayan kan juga manusia. Ada kalanya sedang tidak bersuka hatinya. Lagi dapet kale tuh. Lagian mas nya nanya garamnya dimana. Masih mending mbak nya ndak jawab gini : noh, di laut banyak !!!
Hhmm.. saya gampar berani bilang gitu. Mulut saya maksudnya. Tapi memang saya pernah terpikirkan seperti itu, meski tak pernah terucapkan. Kenapa musti susah – susah bikin garam. Kenapa ndak ambil air laut saja, trus tinggal dituang buat bumbu asin. Simple kan. Ndak ribet musti impor garam dari negri orang. Negri kita kan kaya lautan. Secara logika (lagi – lagi pake logika, meski cinta ini kadang – kadang tak ada logika) seharusnya kita juga kaya garam. Buktinya, garam saja masih impor. Buat yang ndak tau, please baca berita. Saya juga baru tau ding. Hehe..
Well, kembali kepada pencarian saya pada sesuatu bernama garam. Akhirnya saya pulang dari superdupermarket itu ibarat sayur tanpa garam. Ya bawa belanjaan, cuman ndak dapet tuh garam. Heran ya, cuman sekedar garam lho. Tapi luar biasa, menurut saya. Bayangkan semua masakan di dunia ini tanpa digarami (dikasih garam). Ndak enak kan ? jangan memaksakan diri menyebut enak, karena saya tau enak ndak enak, tanpa garam ya tetap ndak enak. Meski dengan mukamanyun (kayaknya dari sononya muka saya memang rada sendu, kelabu, dan wagu) saya berpikir keras bagaimana caranya mendapatkan segenggam garam (emas kalee).
Cling. Saya baru teringat, kan ada kios bu kos. Dengan harap harap tapi ndak begitu cemas, saya putuskan dengan gagah berani menanyakan keberadaan garam padanya (bu kos).
“ada garamkah ???” tanya saya dengan logat ala orang sini biar dikira saya sudah bisa beradaptasi
“oo wuada. Satu apa duwa ? “ lha saya lupa kalo bu kos ini kan ada darah jawa
“nek satunya berapa buk ?”
“nek satu dua ribu, nek dua tiga ribu”
We lada lah. Kok murah yo. Dan yang penting kok ada gitu loh. Saya jauh – jauh mencari sesuatu yang sebenarnya ada di dekat ato di sekitar saya sendiri. Begitulah saya. Seringkali melupakan yang dekat untuk sesuatu yang jauh dan ndak jelas rimbanya. Seringkali berpikir bintang, bulan, matahari, dan konco-konconya namun sama sekali tidak memikirkan tanah yang setiap hari saya injak. Kadang memandang sebelah mata pada sesuatu yang kecil yang nyata, dan lebih memperhatikan hal besar yang mungkin hanya angan – angan semata. Dan yang lebih parah. Saya lebih sering mengikuti bisikan dari luar dibanding mendengarkan dengan tulus dan ikhlas suara yang berasal dari dalam diri saya sendiri. Hati nurani.
Manokwari, 2011.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H