Teman. Ya, aku menganggapnya demikian. Siapa lagi yang akan ngertiin kita selain keluarga kalo bukan teman. Menemukan seorang teman memang tidak mudah. Teman dalam artian yang sebenarnya teman itu sendiri. Paling tidak buat aku. Yang notebene agak susah dalam pergaulan. Bukannya pilih – pilih, hanya saja faktor kecocokan yang pada akhirnya membawa seseorang itu tetap menjadi teman bagiku, ato hanya sekedar menjadi orang lain.
Aku menemukannya secara sengaja saat kita disudutkan pada keadaan yang sama. Sama – sama terbuang jauh dari tempat kami berasal. Awalnya aku sudah mengira, dia punya pilihan yang sama. Hal – hal yang kita sukai. Dari perbincangan ringan yang nyambung membuat aku merasa, dia lah seorang teman. Dan kehidupan bersama yang kami lalui mengurai derai canda tawa. Meski kadang rasa marah timbul, lebih pada sekedar bumbu dalam pertemanan.
Aku merasa lebih muda dari umur yang sebenarnya. Ya, memang hanya perasaanku saja. Namun, demikianlah saat aku berteman dengannya. Aku lebih suka berpikir mengenai hal – hal muda. Dari musik sampai film. Dari banyolan jayus sampai bahasa lebay pun jadi alay.
Hingga, pada suatu waktu, dia menghilang. Meski raganya masih berkeliaran disekitarku. Namun, aku tak lagi menemukan dia sebagai “teman”. Meski juga tidak diartikan sebagai lawan. Hanya saja, dia tak ada bedanya lagi dengan orang lain. Mungkin dia telah menemukan hal baru sebagai temannya. Setidaknya, ini memberiku pelajaran untuk kembali berpikir seusiaku. Untuk menghormati kepentingan orang lain. Bahwa pertemanan bukan saja yang tergambar pada film AADC. Lebih dari itu, teman adalah saat dimana kita bisa menerima keadaan teman yang lain.
“Apa namanya kalau bukan mengorbankan kepentingan pribadi untuk sesuatu yang kurang principil ?” Aku bukan rangga. Tidak separah itu. Meski kadang memang timbul rasa egoisme didalam jiwa ini. Tapi aku masih bisa berkorban untuk orang lain. Sekedar melayani semampuku, mengalah pada kondisi tertentu, sebisa mungkin tidak merepotkan orang lain, dan belajar “nerimo” dengan apa yang aku dapatkan.
Kembali ke teman. Ini mungkin puncak dimana segalanya menjadi buruk. Salah paham. Tidak saling mengerti, bisa jadi menjadi sumber dari apa yang kini terjadi. Aku tidak akan membela diri sebagai seorang yang benar, atau bahkan paling benar. Aku hanya tidak mengerti, karena mungkin aku ingin dimengerti. Dan tentang pengertiannya, aku hanya tahu ada kemauan yang mungkin tidak bisa terpenuhi oleh diriku sebagai teman. Kalau masing-masing ingin dimengerti, lalu siapa yang harus mengerti (=mengalah) ?
Jawabannya mungkin aku. Jika memang aku ingin keadaan kembali normal. Namun sayangnya, aku sedang tidak ingin mengerti. Memaksakan diri terjebak dalam suasana aneh yang seringkali aku rasakan. Aku ingin lepas, bebas, terbang menuju apa yang aku inginkan.Dan kalau udah begini, yang terjadi adalah saling diam. Entah sampai kapan.
Ini malam tahun baru. Suara petasan, semburan kembang api diantara gerimis yang turun menjelang pergantian tahun. Aku sendiri. Jangan tertawa. Aku juga ingin tertawa dengan keadaan ini, meski sebenarnya sedih. Selalu, rasa sakit yang pada akhirnya aku terima. Salah siapa ? salahku sendiri. Yang hanya mau dimengerti, tanpa ada rasa untuk mengerti.
Selamat Tahun Baru 2011... Semoga aku menemukan kembali “teman” yang hilang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H