[caption id="attachment_225852" align="aligncenter" width="289" caption="(gambar dari komike.wordpress.com)"][/caption]
“Blue moon … na-na-ni-na … na-noo … na-na-ni-na … na-noo. Blue Moon …” Dan orang itu terus mengencrung-ngencrungkan ukulelenya. Kata yang dinyanyikan cuma keluar blue moon, sedang lain-lainnya ya cuma na-na-ni-na-na-noo itu. Tetapi lagunya sampai selesai, benar semua. Dan tidak ada pales-nya. Bahkan nyaris merdu, dinyanyikan with feeling, mawi roso.
Pengamen itu sudah setengah baya umurnya, sekitar empat puluhan tahun. Tinggi semampai, rambut berombak, tampangnya agak ngganteng juga. Cuma sayang, gusi giginya hitam keungu-unguan, giginya banyak yang sudah rontok. Mungkin dulu kebanyakan merokok klembak menyan. Begitu selesai dia akan berhenti sebentar melongok ke ruang tamu. Kalau di ruang tamu tidak ada orang, maka dia akan berkoar lebih seru dari sebelumnya. “Blue emmooonnn … na-na-ni-na … na-noo …” sampai selesai lagi. Sampai kemudian Mr. Rigen dengan diiringi Beni Prakosa memberinya duit Rp. 200,-
Memang untuk pengamen honorarium, Rp. 200,- adalah jumlah yang cukup tinggi. Itu pun sudah lewat proses keras. Mr. Rigen yang sebagai direktur kitchen cabinet memang tidak bisa dan tidak boleh punya perasaan seorang patron atau maecenas seni. Bayangkan kalau seorang direktur seperti itu punya jiwa maecenas, jeneh pesinden-pesinden seluruh P. Jawa senang semua …
“Lho, Pak. Mosok dua ratus, Pak ? Nyanyinya juga na-na-ni-na-na-noo begitu, kok. Tidak tutuk lagi.”
“Hush, tutuk saja. Lagunya itu selesai dinyanyikan. Bahkan bagus. Itu mesti dihargai. Cuma dia nggak hafal kata-katanya.”
“Yakk, Bapak pilih kasih. Wong biasanya buat orang ngamen paling banyak seratus, kadang malah cuma lima puluh, ini kok rong atus. Apa karena lagunya Inggris to, Pak ?”
“Hush, ya tidak. Bukan soal cara Inggris, Mister. Sebagai maecenas, ngerti ora, ma-e se-nas, pengayom seni kudu mempertimbangkan semua. Orang ini menyanyi dengan perasaan, with feeling. Lagunya utuh. Melodinya bagus. Iramanya pas. Semua dalam struktur keindahan yang good.”
“Wah, Bapak kalau sudah begini ini saya merinding lho, Pak. Lha, kok ngendika yang saya tidak mudheng semua. Panjenengan itu tadi ngendika apa ?”
“Ya, pokoknya apik. Titik ! Dan orang itu tahu sopan santun. Kalau ngamen ke sini bukan waktunya orang tidur. Dia cari waktu kita sedang minum teh. Lha, itu kalau bukan trahing, turunan priyayi, mana tahu tata karma begitu, Gen. Jadi, ya rong atus !”
Mr. Rigen geleng kepala sambil tertawa njegeges.
“Lha, wong priyayi kok mbarang, ngamen dari rumah ke rumah. Priyayi apa itu, Pak ? Priyayi itu ya kerja kantoran seperti Bapak. Pakai baju kelabu atau Korpri. Lha, ini. Cuma pakai kaos oblong. Kumel lagi. Giginya mrotholi semua …”
“Eh, eh … kok kamu jadi sadis bin beringas gitu ? Ini priyayi yang sedang jatuh, Gen. Kudu dikasihani. Uang rong atus itu berapa sih, Gen ?”
“Yakk … kok kayak Bapak tahu riwayatnya saja. Saya nderek maunya Bapak saja. Wong itu uang-uangnya Bapak. Ning pada perasaan saya kok kurang adil terhadap pengamen lainnya yang cuma dapat satus, kadang malah seket itu. Sama-sama ngamen kok dibeda-bedakan, Pak ?”
Sambil menghabiskan kata-katanya itu Mr. Rigen dengan bersungut-sungut pergi. Wah, naluri kerakyatan Mr. Rigen sedang ngeper ini. Tetapi, yah, peduli apa. Pokoknya saya kan yang didhapuk jadi priyayi, toh ? Uang itu uang saya sendiri, toh ? Maecenas di mana saja memberi bantuan uang buat seniman yang menurut roso dan krenteg-nya hati, dong. Yang ini seket, yang itu satus dan yang itu lagi rong atus …
Begitulah aturan permainan memberi honorarium bagi para pengamen saya terapkan. Dan Mr. Rigen sebagai direktur kitchen cabinet pun sudah hafal aturannya. Bahkan feeling-nya, roso-nya sebagai maecenas pun sudah mulai jadi. Dia mulai tahu dan mengembangkan sendiri roso kapan mesti kasih seket, satus atau rong atus. Bahkan agaknya dia mulai bisa menghargai cengkok Mister Blue Moon yang melankolis itu. Memang bukan atau belum seperti Andi Williams, tetapi untuk hiburan sore yang nani-nano itu cukuplah. Sampai pada satu waktu untuk beberapa minggu Mister Blue Moon tidak mampir-mampir lagi.
“Wah, gek ke mana ya, Pak ?”
“Lha, ya itu. Jangan-jangan ….”
“Lha, ya itu yang saya takutkan, Pak. Waktu terakhir mampir ke sini itu nyanyinya sudah diselingi cekoh-cekoh itu, Pak. Jangan-jangan TBC, Pak.”
“Hush, … sak enakmu saja ngepal penyakit orang. Belum tentu, Gen. Mungkin dia ketemu saudaranya yang mau nolong dia. Mungkin dia dikukup bekas kantornya suruh ikut orkes keroncong kantornya, mungkin …”
Mr. Rigen njegeges lagi.
“Lho, Bapak kok terus ngarang-ngarang tentang Mister Belumun itu. Kok bayangan Bapak begitu. Kalau menurut saya mungkin malah sudah mati dia, Pak.”
“Kamu itu makin lama kok makin sadis to, Gen. Mbok ya kalau bayangin apa-apa itu yang optimis to, Gen, Gen.”
“Klimis apa bukan klimis, wong namanya nasib wong mbarang lho, Pak. Mau sampai mana. Kalau nggak kuat ya terus nggeletak to, Pak.”
Saya jadi merinding mendengar pendapat Mr. Rigen yang begitu polos dan keras itu. Mungkin dia benar. Tetapi, eh, mbok ya agak halus dan tepo sliro sedikit. Kemungkinan yang dia sediakan kok begitu sedikit dan sempit, lho !
Saya menguap, tiba-tiba merasa mengantuk sekali. Di kamar saya merebahkan tubuh saya di tempat tidur. Siyat-siyut mulai mengantuk. Tiba-tiba di luar saya dengar, kencrung … kencrung … kencrung. Suaranya pales dan ndesit banget. Langsung saya teriak,
“Mr. Rigen, seket … seket waeee …. !“
Yogyakarta, 5 Januari 1988
NB :
- Artikel ini pernah terbit di harian Kedaulatan Rakyat (KR) Yogyakarta, 5 Januari 1988
- Untuk membaca artikel lain tulisan Umar Kayam, silakan klik di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H