Suriname adalah negara yang memiliki kesan khusus bagi Indonesia, terutama bagi orang Jawa. Negara yang terletak di pesisir utara Amerika Selatan ini memiliki keterkaitan sejarah dan budaya dengan orang Jawa.
Semua berawal dari program 'pengiriman TKI' yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial Belanda dari tahun 1890 s/d 1939. Program 'pengiriman TKI' ini dilatarbelakangi oleh kondisi masyarakat Pulau Jawa yang memprihatinkan, imbas dari tragedi meletusnya Gunung Krakatau pada tahun 1883. Di sisi lain, perkebunan-perkebunan yang ada di Suriname mengalami kekurangan tenaga kerja. Dua kondisi yang bagaikan botol ketemu tutupnya, saling melengkapi. Maka sebagai penguasa Indonesia (Hindia Belanda) dan Suriname, pemerintah kerajaan Belanda mulai melakukan 'pengiriman TKI' dari Jawa ke Suriname, secara bertahap.
Pasca PD II, meskipun banyak yang pulang kembali ke Jawa, masih banyak pula yang tetap tinggal di Suriname dan memutuskan menjadi warga Negara Suriname. Saat ini warga Suriname keturunan Jawa berjumlah sekitar 79.200 dari total 558.300 (14,19 %) jumlah penduduk Suriname (data tahun 2017). Mereka berkecimpung di semua sektor kehidupan rakyat Suriname, bahkan sudah ada yang menjadi menteri.
Ada beberapa hal yang menarik dari warga Suriname keturunan Jawa ini. Antara lain; dalam penulisan mereka masih sering memakai ejaan lama, terutama dalam penulisan nama. Hal ini bisa dimaklumi karena pada saat mereka dikirim ke Suriname di Indonesia (Hindia Belanda) masih berlaku ejaan van Ophuysen. Jadi mereka masih sering menuliskan 'tj' untuk menggantikan 'c', 'dj' untuk menggantikan 'j', 'oe' untuk menggantikan 'u' dan 'j' untuk menggantikan 'y'. Seperti; Tjiptokoesoemo, Danoedirdjo, Madjoe Djaja, dll.
Hal lain yang menarik dari generasi muda keturunan Jawa di Suriname adalah cara mereka memberi nama. Umumnya, nama depan memakai nama yang berbau kebarat-baratan, sedang nama belakang masih menggunakan nama khas Jawa. Seperti; Johan Prawirodihardjo, Chantal Karijosentono, Emely Kartoredjo, Hendrik Kromodiredjo, dll. Perpaduan gaya Belanda -- Jawa.
Meski terpisah jauh dan lama dari tanah Jawa, suasana pemukiman orang Jawa di Suriname tak ubahnya suasana kampung Jawa di Indonesia. Sesama orang Jawa masih berbicara dengan Bahasa Jawa, meski Bahasa resmi di Suriname adalah bahasa Belanda.Â
Meski pengaruh budaya Eropa dan Amerika Latin cukup mempengaruhi gaya hidup mereka, terutama generasi mudanya, mereka masih melestarikan budaya Jawa, seperti menggelar pertunjukkan wayang kulit dan memainkan tembang-tembang Jawa (campursari). Untuk hal terakhir, penyanyi lagu-lagu Jawa seperti; Waldjinah, Didi Kempot, Manthous serta komedian Jawa asal Surabaya, Kirun, sangat terkenal di Suriname. Mereka pernah beberapa kali menggelar pertunjukkan di sana.
Menikmati tembang-tembang Jawa van Suriname membuat saya (sebagai orang Jawa) sungguh terharu dan bangga kepada "dulur-dulur Jowo" yang berada di Suriname. Ternyata selain dinyanyikan oleh orang Jawa yang ada di Suriname, tembang Jawa juga dinyanyikan oleh orang 'hitam' Suriname.Â
Yang juga sedikit membedakan tembang-tembang Jawa Suriname adalah 'goyangan penontonnya' jika lagu itu dinyanyikan secara 'live' di atas panggung. Mereka menikmatinya (kebanyakan) sambil berdansa berpelukan ala dansa waltz Eropa.
Berikut ini beberapa contoh tembang-tembang Jawa van Suriname :
- Pat and Madu (Patrick) -- Ora Bakal Lali
Jika Indonesia identik dengan musik dan goyang dangdut, maka Suriname identik dengan musik dan goyang bachata, musik dan tarian khas Dominika dan sekitarnya. Lagu 'Ora Bakal Lali' ini dinyanyikan dengan aransemen bachata. "Goyang, Mas ..... Asyiiiikkkk !!!" (Terima kasih kepada akun https://www.youtube.com/user/PaSensi)