Malam menjelang Lebaran kemarin anak saya mengeluh sakit sariawan. Terdorong rasa khawatir anak nggak mau makan dan dokter serta apotek banyak yang tutup ketika Lebaran, selapas sholat Isya saya bergegas pergi ke apotek untuk beli obat sariawan anak saya.
Benar dugaanku, tiga apotek pertama yang paling dekat dengan rumah tutup semua. Saya segera meluncur ke apotek berikutnya. Alhamdulillah … buka. Karena saya lupa nama obat tersebut, akhirnya saya hanya menyebutkan ciri-cirinya kepada mbak penjaga apotek,
“Mbak, ada salep untuk sariawan yang aman jika terjilat atau tertelan ? Warnanya kuning.”
“Salep Ke***og ?”
“Nah … saya lupa namanya. Bisa liat barangnya, mbak ?”
Setelah melihat bentuk dan warna salep yang ditunjukkan oleh mbak penjaga apotek, saya merasa yakin bahwa memang betul ini obat yang saya maksud.
“Berapa harganya, mbak ?”
“Rp. 56.500,- pak.”
“Hahh ….Mahal amat ! Perasaan dulu hanya Rp. 25.000,- an ! Atau ada merk lain, mbak ?”
“Kalo untuk sariawan, warna kuning, aman dijilat dan tertelan, ya …. cuma ini, pak.”
Merasa ragu, saya pun mencari apotek yang lain. Siapa tahu ada merk lain yang lebih murah. Setelah berkeliling cukup lama, akhirnya saya terdampar di apotek KF (sebuah apotek milik anak perusahaan sebuah BUMN Kesehatan).
Pertanyaan yang sama saya ajukan kepada mbak penjaga apotek. Setelah saya lihat barangnya, ternyata benar, merknya sama dengan yang ditunjukkan oleh apotek sebelumnya.
“Berapa ini, mbak ?”
“Rp. 59.500,- pak.”
“Hahhh …. Kok mahal banget !”
“Ya … kalo salep Ke***og emang segitu harganya, pak.”
Saya perhatikan dengan seksama kemasan salep tersebut. Di situ tercantum HET (Harga Eceran Tertinggi) : Rp. 57.700,-. Saya pun protes.
“Masak apotek pemerintah lebih mahal dari apotek swasta ?! Tadi saya tanya di apotek CW cuma Rp.56.500,-. Kok bisa ?!”
“Ya … khan ada ongkos kirimnya, pak.”
“Iya … saya juga tahu. Tapi di sini khan ditulis HET Rp.57.700,-. Berarti pihak pabriknya sudah ngitung ongkos kirimnya, mbak. Mau dijual di mana pun selama masih wilayah Indonesia, mau di sini maupun di pedalaman Papua sana harganya nggak boleh melebihi dari harga HET-nya, Rp. 57.700,-. Ini kok malah Rp. 59.500,- itu itungannya dari mana ?”
Karena saya ngotot nggak mau beli dengan harga yang melebihi HET, mbak penjaga berbicara dengan salah satu temannya (mungkin atasannya). Akhirnya si mbak bilang,
“Ya deh, pak …. Rp. 57.000,-“
“Nah … gitu, dong. Hampir saja saya balik ke apotek CW.”
Dalam perjalanan pulang saya mengingat-ingat kejadian hampir satu tahun yang lalu ketika saya membelikan obat untuk istri saya. Untuk obat yang sama harga di apotek “plat merah” ini justru lebih mahal dari apotek swasta. Entahlah untuk obat yang lain, karena saya ke apotek KF ini hanya jika obat yang saya cari tidak tersedia di apotek terdekat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H