Mohon tunggu...
Mas Teddy
Mas Teddy Mohon Tunggu... Buruh - Be Who You Are

- semakin banyak kamu belajar akan semakin sadarlah betapa sedikitnya yang kamu ketahui. - melatih kesabaran dengan main game jigsaw puzzle. - admin blog https://umarkayam.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Mangan Ora Mangan Kumpul, Sketsa Umar Kayam

3 Mei 2012   00:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:48 1001
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1336005637664471276

Pertama kali saya mengenal Umar Kayam melalui film wajib tonton pada era Orba, Pemberontakan G30S/PKI (1984), karya sutradara (alm) Arifin C.Noer. Dalam film tersebut Umar Kayam didaulat untuk memerankan Presiden Soekarno. Boleh juga aktingnya.

Pertengahan tahun 90-an saya baru tahu jika selain sebagai aktor, Umar Kayam ternyata juga seorang budayawan, kolumnis, cerpenis, novelis dan penulis skenario film. Jabatannya pun tidak main-main. Umar Kayam pernah menjabat sebagai : Dirjen RTF (Radio Televisi dan Film), ketua Dewan Kesenian Jakarta, rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ), guru besar di Fak. Sastra UGM dan masih banyak lagi. Semuanya saya ketahui gara-gara sebuah buku yang dibeli oleh kakak saya, “Mangan Ora Mangan Kumpul” (penerbit PT. Pustaka Utama Grafiti, 1990) yang berisi sketsa/tulisan Umar Kayam di Harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta. Sketsa atau tulisan tersebut dimuat di koran tersebut dari tahun 1987 s/d 1990. Pertama kali membaca bukunya langsung membuat saya ketagihan.

Ketika mulai merantau, saya kehilangan buku tersebut. Saya tanya kakak dan adik tidak ada yang tahu. Sampai akhirnya, ketika sedang bersih-bersih di rumah orang tua tahun lalu, ketemu juga buku tersebut. Takut kehilangan untuk kedua kalinya, akhirnya saya berinisiatif untuk menuangkan isi buku tersebut dalam sebuah blog (umarkayam.wordpress.com). Tujuan saya;

1.Ingin mengarsipkan atau mendokumentasikan tulisan Umar Kayam tersebut dalam bentuk blog

2.Menyebar luaskan tulisan Umar Kayam tersebut kepada mereka yang belum pernah membacanya

3.Untuk bernostalgia bagi mereka yang pernah membacanya, pernah kehilangan bukunya atau susah mencari bukunya

Sebagai pengingat dan penyegar suasana, saya berikan satu cuplikan dari tulisan Umar Kayam yang berada di halaman 64 - 65 buku “Mangan Ora Mangan Kumpul

…. Di rumah, si Gendut, kencana wingka, sisa remaja keluarga kami, saya lihat sedang nglaras di kamarnya. Pukulan telak Sipenmaru*) rupanya sudah dapat diatasinya. Di mejanya saya lihat ada segelas es jeruk dan beberapa potong siomay tergelatak di piring. Kemudian berserakan bahan-bahan penataran P4, majalah-majalah, di tangannya yang sedang dibacanya majalah Gadis. Kemudian radio yang disetel kencang-kencang. Si Gendut, sama dengan remaja lainnya, adalah juga generasi kuping congekan …..

“Vina ya, nDut …?”

“He … he … he … Bokap ! Tiap penyanyi Vina. ‘Ntar suara Harvey Malaiholo dibilangin Vina. Payah deh, Bokap.”

Lha, siapa dong ?”

“Ini, Pak. Namanya Siila, tulisannya es-ha-e-i-el-a, Siila Majid. Cakep ‘kan, suaranya ?”

“Ahh, Vina atau Sssyiila sama saja. Suaranya sama, lagunya sama. Apa sih, bedanya ?”

“Idiihh … Bokap ! Jelas lain dibilang sama. Dengar ‘tuh. Ngucap Jakarta saja sudah lain. Kalo Siila, Jeakareta. Mana Vina bilang Jakarta begitu. Dan kalo ngucap Anyer, Siila bilang Anye. Lain ‘kan, Be, sama Vina.”

“Kalo nanti ada lagu ‘Dari ngGodean ke mBantul’ bagaimana Sssyiila-mu itu akan bilang?”

“Bokap mesti gitu, deh, norak !”

Si Gendut tertawa anyel, aku tertawa cekakakan. Menggoda anak, tonik yang sedap juga.

Mbok coba sekali-sekali kau setel RRI. Musiknya enak, halus, sopan, tidak jerit-jerit gedobrakan.”

Si Gendut tersenyum, tetapi senyumnya kok mengandung misteri. Tangannya memutar-mutar kenop, mencari RRI.

“Nih, RRI nih.”

Dari radio itu keluar suara keroncong. Lagunya “Jembatan Merah”, kencrungkencrungkencrung … Suaranya di siang yang hareudang begitu memang kedengarannya lelah betul.

“Tuh, Be, musik RRI Babe. Tak kencrungtak kencrungtak kencrung … “

“Ehh, begitu-begitu musik asli kita, lho.”

“Asli. ‘Burung Camar’ juga asli. Semuanya juga asli, Be.”

Wah, si Gendut mulai ngotot.

“Pokoknya, Be, kalo RRI lagunya gitu terus nggak bakalan saya setel, deh.”

“Lho, ‘kan RRI punya FM juga. Lagunya bagus-bagus.”

“Bagus-bagus buat generasi Bokap sama Ibuk. Buat kita enggak, dong.”

Lha, berita-berita bagaimana, nDut ? RRI ‘kan ?”

“Aahh, bosen. Beritanya begitu melulu. Mendingan nyetel tivi jam sembilan. Seru. Banyak gambarnya yang menarik. Ini, ngomooooong doang. Pokoknya, Be, RRI sedikit aja ngomongnya kayak Warkop waktu masih ngintelek dulu. Yang penting yang canggih itu, Be.”

Wah, ini generasi canggih. Semua maunya canggih.

“Canggih itu yang bagaimana, sih ?”

“Yaaa, Babe. Canggih ya canggih. Begitu saja kok ditanyakan.”

Satu brakotan siomay, dua tiga gelegak es jeruk. Tangannya putar-putar kenop meninggalkan RRI-ku yang malang. Saya lihat mukanya yang bunder jerawatan, rambutnya yang sedikit pangrok, telinganya yang sebelah ditindik dua, yang sebelah satu. Antingnya yang sebelah bintang kecil merah dan biru, yang sebelah bunder biasa. Anak sekolahan yang begitu masa kini kok sama lho tuntutannya sama anak tamatan SD Pracimantoro. Radio jangan banyak ngomong, musik saja …..

“Nah, ini musik kita bersama, Be …”

Di radiooooo … aku dengar, lagu kesayanganmu …..

*) Sipenmaru : Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun