Kisah berikut ini adalah cerita tentang seorang bapak tua (istilah bahasa sasaknya “papuq”) penjual pisang yang biasa lewat di depan rumah, yang akhirnya diberi sebutan “papuq pisang” oleh istri saya.
Kisah ini bermula dari sekitar delapan tahun yang lalu ketika kami sekeluarga baru pindah ke P. Lombok.
Pada suatu siang yang sangat terik terlihat seorang bapak tua –atau lebih tepatnya “kakek”- sedang duduk-duduk di bawah pohon di depan rumah kami dengan dua keranjang berisi pisang ada di depannya. Terdorong rasa kasihan, istriku memanggilnya untuk beristirahat di teras rumah. Ditemani sepiring kue dan air putih, istriku menemani kakek itu ngobrol di teras (untungnya sang kakek bisa berbahasa Indonesia, kalau hanya bisa bahasa sasak pasti tidak akan nyambung ... :D). Setelah kurang lebih setengah jam ngobrol dan menghasilkan transaksi sesisir pisang, sang kakek melanjutkan perjalanannya. Sejak itu sang kakek selalu mampir ke rumah, kira-kira tiap dua atau tiga minggu sekali. Meskipun tidak selalu membuahkan transaksi, paling tidak ada langganan tempat istirahat dengan fasilitas minum air putih atau kopi plus kadang-kadang sepiring kue atau jajan hasil bikinan istriku sendiri.
Dari hasil sekian kali ngobrol dengan sang kakek, istriku telah berhasil mengumpulkan sepenggal perjalanan hidup sang kakek yang cukup mengharukan sekaligus membanggakan tentang semangat dan perjuangan hidup serta harga diri.
Inilah sebagian penuturan dari sang kakek. Berjualan pisang hasil kebunnya adalah satu-satunya jalan untuk bertahan hidup bagi dia dan istrinya. Karena dia tidak mau menggantungkan hidup kepada orang lain, termasuk anak-anaknya. Karena dia sendiri juga tidak tahu di mana anak-anaknya sekarang berada. Untuk meminta-minta (mengemis) kepada orang lain atau menyerahkan diri ke panti jompo adalah pantangan buat dirinya. Selama masih bisa dan kuat jalan kaki dia akan tetap memilih untuk berjualan pisang. Lebih baik berjualan pisang daripada mengemis, makanya dia paling benci jika melihat orang yang masih muda dan sehat, mengemis. Selain dianggap pemalas dan tidak menghargai diri sendiri karena dia juga tahu persis kadang-kadang hasil dari mengemisnya itu lebih sering dipergunakan untuk hal-hal yang justru kurang berguna, seperti untuk beli rokok.
Jangan sekali-kali memberi uang pada kakek ini tanpa membeli pisangnya, dia pasti akan tersinggung. “Kalau bapak atau ibu mau memberi saya uang, silakan beli pisang saya!” begitu yang sering dia ucapkan. Memang jarang ada orang yang mau beli pisang sang kakek hanya karena satu hal saja, mahal, jika dibandingkan dengan harga pisang pada umumnya. Jadi kalau ada yang beli pisangnya itu karena lebih terdorong oleh rasa kasihan. Terkadang muncul pikiran jelek saya, inikah strategi mengemis yang lebih halus? Tapi pikiran itu segera saya buang jauh-jauh demi melihat keringat yang belum kering di pipinya.
Suatu ketika, sudah cukup lama sang kakek tidak lewat depan rumah. Mulai muncul kekangenan sekaligus kekhawatiran kami akan sang kakek. Jangan-jangan dia sakit atau mungkin sudah meninggal. Kalau betul sudah meninggal, ke mana kami harus melayat sementara nama dan rumahnya saja kami tidak tahu (karena setiap kali ditanya di mana rumahnya, dia hanya menjawab “jauh ... pokonya jauh”). Hilang sudah kekhawatiran kami begitu melihat sang kakek muncul lagi beberapa hari menjelang lebaran tahun lalu. Hebatnya lagi dia masih berusaha menjalankan ibadah puasa ramadhan. Untuk pertama kalinya sang kakek mengajukan permintaan kepada istri saya (setelah didahului dengan prakata yang sangat santun), barangkali ada baju/celana/sarung yang sudah tidak dipakai, bolehkah dia memintanya. Trenyuh hatiku mendengarnya. Tanpa pikir panjang kami carikan baju dan celana yang masih layak pakai. Khusus untuk sarung kami berikan yang masih baru, masih dalam kemasan tokonya. Senang hati kami melihat senyum sang kakek. Dan seperti biasa, sebelum melanjutkan perjalannya sang kakek selalu mendoakan kami sekeluarga.
Ya Allah ... berilah kami kekuatan untuk selalu meneladani sikap dan harga diri sang kakek dalam menjalani kehidupan ini. Sikap yang pantang menyerah dan pantang melakukan sesuatu yang hina demi kebahagiaan sesaat. Ya Allah ... berikan yang terbaik buat kakek kami meskipun bagi sebagian orang dia hanyalah seorang "penjual pisang" yang dikenal orang dengan "papuq pisang".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H