Konflik panjang antara Rusia dan Ukraina yang didukung oleh negara-negara barat akhirnya berujung "Operasi Militer Khusus" oleh Rusia pada 24 Februari 2022 yang lalu.
Untuk pertama kalinya setelah kurang lebih 70 tahun keamanan Eropa relatif terkendali, peperangan besar berdarah antar negara kembali terjadi di tanah benua biru itu.
"Operasi Militer Khusus" Federasi Rusia yang ditandai dengan pengakuan kemerdekaan dua wilayah Ukraina, Republik Rakyat Donetsk dan Lugansk ditanggapi cepat oleh barat.
Dengan pelbagai sanksi-sanksi yang mengisolasi posisi Rusia dari kegiatan ekonomi global. Termasuk pemblokiran akses ke media-media yang diyakini alat 'propaganda'.
Beberapa hari setelah agresi militer Rusia berlangsung di Ukraina, Uni Eropa melarang siaran dua media Rusia di Eropa, Sputnik dan RT berserta anak perusahaannya.
Setelahnya, perusahaan-perusahaan media sosial dan teknologi seperti, Google, Facebook, dan ByteDance pun akhirnya mengikuti langkah Uni Eropa itu.
Hasilnya, media-media barat menjadi satu-satunya sumber informasi yang mudah diakses oleh penduduk Eropa untuk mendapatkan info dari Ukraina.
Membalas sanksi media oleh Eropa, Rusia pun membuat kebijakan serupa tehadap media-media Eropa dan barat yang beroperasi di negaranya.
Dari sini kita bisa melihat bahwa peperangan sengit antara Rusia dan Ukraina bukan hanya terjadi di lapangan tetapi juga dunia media, terutama di internet.
Jika senjata berperan penting untuk menumpaskan lawan, media berperan penting untuk memenangkan opini publik sekaligus menjatuhkan moral lawan.
