Pada sebuah artikel yang saya baca di Katadata.co.id berjudul “Utang Pemerintah Membengkak Jadi Rp 6.900 Triliun di Akhir Tahun 2021”, diketahui bahwa utang Pemerintah hingga akhir tahun 2021 yang lalu sudah mencapai Rp 6.908,87 triliun.
Selain itu, diketahui juga bahwa rasio utang Pemerintah tersebut terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun lalu telah meningkat hingga 41 persen. Setelah membaca itu, tanggapanku adalah “Hmm.. dikit lagi 7000 tuh”.
Jauh sebelum artikel itu terbit, sebenarnya sudah ada banyak sekali media yang menyoroti pembengkakan utang Pemerintah tersebut yang terjadi hampir sepanjang Presiden Joko Widodo memegang kendali Pemerintahan sejak tahun 2014 yang lalu.
Sudah banyak juga tokoh publik yang menyoroti hal ini dan membahasnya dalam berbagai forum atau artikel. Sebagian dari mereka mengkritik tajam dan mendesak pemerintah untuk segera membenahi kondisi keuangannya agar lebih sehat.
Sebagian lainnya, seperti yang berasal dari partai pendukung Pemerintah atau pejabat di instansi Pemerintahan berpendapat bahwa utang itu masih aman dan memang dibutuhkan terutama untuk pembangunan infrastruktur.
Persoalan ini pun juga beberapa kali sempat menjadi perbincangan hangat warganet di media sosial. Sebagian dari mereka mendukung pemerintah untuk berutang asalkan “produktif” dan sebagian lainnya mengkritik tajam.
Dalam beberapa kesempatan, bahkan hal ini sering berujung perdebatan panas. Terutama ketika ada yang mengungkit janji pak Jokowi yang katanya “tidak perlu ngutang” karena “uangnya ada”, jika terpilih menjadi presiden pada pemilu tahun 2014 yang lalu.
Meski dihujani oleh kritikan tajam dari berbagai penjuru, Pemerintah sepertinya masih enjoy dengan jumlah utang yang ditanggungnya itu dengan dalih “masih aman”. Ibu menteri keuangan kita juga masih pede bahwa suatu hari “kita” bisa melunasi utang itu.
Optimisme ini pun terpancar ketika pemerintah kembali berniat menambah utangnya untuk membiayai proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang konon katanya akan sepenuhnya dibiayai swasta tetapi ternyata akhirnya pakai APBN juga.
Tidak berhenti sampai di situ, bahkan Pemerintah juga berniat tambah utang lagi demi membiayai proyek IKN yang katanya tadinya tidak akan pakai APBN. Eeh ternyata nasibnya malah sama seperti proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.