Pemilih cerdas ,Calon Berkualitas, Pemimpin Berkualitas, bukan Pemilih Memelas, Calon Culas, Pemimpin Ganas. Itulah sebenarnya harapan pada pemilu kali ini. Sosialisasi itu diberikan pada hampir semua desa (PPS). Tapi sudah menyasarkah usaha itu? Tak tahulah kita. Karena calon pemilih belum tentu membacanya. Dan yang membaca pun belum tentu memahaminya.
Sebenarnya siapakah yang bertugas mensosialisasikan hal tersebut. KPU sebagai penyelenggara pemilu atau partai politik sebagai peserta pemilu atau kedua-duanya. Ada hal menarik dari pesan tersebut. Mungkin harapan KPU atau kita semua yang peduli dengan pemilu yang menghabiskan biaya trilyunan rupiah dari anggaran pemerintah. Belum lagi dari parpol dan caleg yang tak terhitung lagi berapa biaya yang mereka keluarkan. Agar pelaksanaan pesta demokrasi menjadi berkualitas dan menghasilkan Anggota Legislatif yang berkualitas pula. Tapi sukseskan harapan itu. Kita lihat saja kenyataan di lapangan.
Pelaksanaan pemilu yang begitu berbeda dari masa orde baru dan masa reformasi perlu pembelajaran lebih massif lagi. Namun terkadang hal tersebut ada pula yang tidak mengharapkan. Pemilih yang masa dahulu dibodohkan atau dimasabodohkan dengan pilihannya, sekarang harus belajar menjadi pemilih yang cerdas. Tidak mudah memang, terutama untuk generasi terdahulu (tua), yang sebagian besar masih buta aksara, tidak bisa membaca menjadi kendala tersendiri.Untuk mewujudkan cita-cita tersebut.
Lagi pula parpol, pewaris masa lalu, seakan tidak berharap pemilihnya cerdas. Sehingga tidak ada pembelajaran politik, atau pencerdasan kepada calon pemilihnya. Untuk apa sebenarnya pemilu itu diselenggarakan. Seakan hanya acara rutin lima tahunan saja. Mereka datang menjelang pemilihan, dengan aneka iming-iming yang menggiurkan. Setelah itu kabur tiada peduli lagi kepada pemilih yang telah berkorban membantunya melenggang ke kursi legislatif. Mereka tidak pernah mendidik calon pemilihnya menjadi cerdas. Apa sebab, mungkin jika pemilihnya cerdas, mereka akan dilibas dan tidak digagas, karena terbukti berbuat culas.
Begitu pula rakyat, dibuat apatis, cuek, tak peduli juga, bahwa pilihannya menjadi sumber malapetaka. Rakyat yang mudah lupa.
Mungkin jargon “Pemilih Cerdas, Memilih Calon Berkualitas” akan diplesetkan menjadi “Pemilih Memelas, Memilih Calon yang Memberi tukon beras”. Jadi seperti dalam lagu yang sering kita dengar, “ra tak gagas sing penting iso entuk tukon beras”. Mereka tidak peduli lagi, biar saja yang terpilih menjadi penindas.
Itulah beberapa fenomena yang masih melingkupi kondisi pemilih kita. “Sing penting saiki entuk, senajan mengko remuk”. Demokrasi berkualitas dengan hasil pemimpin berkualitas, seakan masih dalam mimpi. Tetapi bagaimana pun juga, harapan untuk lebih baik itu, harus kita tanamkan dalam diri. Bahwa harapan itu masih ada.
Di antara kemiskinan yang menjadi belenggu untuk mewujudkan kejayaan masa depan adalah kemiskinan tiada mempunyai azzam (tekad) yang kuat untuk menjadi lebih baik. Terlebih lagi jika mental itu telah membelenggu generasi mudah, mungkin tinggal menunggu kehancurannya.
Untuk itu kepada segenap elemen bangsa, mari bersama mewujudkan masa depan yang lebih baik lagi dari kondisi saat ini. Yang lalu biarlah berlalu, mari maju menuju hidup yang lebih bermutu. Terwujudnya tatanan berkualitas, rakyat cerdas, pemimpin cerdas.
Salam damai dan semangat memperbaiki diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H