Segelas harapan sedang terikat dengan sebuah janji yang tersimpan dalam hati. 1000 hari kemudian, Janji itu mati.
***
Petang itu, langit sedang menumpahkan segala amarahnya. Petir bergemuruh, serta rintikan hujan semakin deras menjatuhi bumi pertiwi. Roda - roda kendaraan seperti berputar lambat. Pandangan Mata Vanya tertunduk, suasana hatinya masih sama seperti langit pada hari ini. Penuh dengan amarah. Penuh dengan petir yang bergemuruh juga. Hanya tatapan kosong yang diberikan pada pohon dan daun - daun yang sedang menemaninya.
Perayaan kembang api ingatan sedang berpentas di pikiran Vanya. Ada seberkas bayangan masa lalu yang kerap hadir dalam setiap percikannya. Lambat laun perayaan itu seperti sedang mengikis luka hati yang semakin dalam. Janji - janji itu. Mati. Membujur menjadi bangkai mayat yang dipenuhi belatung. Menyisakan aroma amis yang masih menggantung.
Bayangan masa lalu. Janji dan harapan. Semua musnah. Musnah.
***
Kaki - kaki manusia mulai ramai menapaki jalan berdebu di sekitar stasiun kota Malang. Para pedagang kecil yang tak ubahnya seperti semut kecil yang bergerombol, sedang berjuang mencari nafkah di tempat mereka masing - masing. Ada yang hanya sekedar duduk, menanti sebuah pelanggan datang dan membeli sesuatu dari dagangannya. Ada yang begitu giat menjajakan dagangannya hingga keringatnya bercucuran, padahal pagi itu masih begitu dingin. Iya, dingin. Seperti sebuah hati yang ditinggalkan oleh tuannya sendiri.
Ada seorang gadis yang sedari tadi hanya terdiam di sudut kanan sebuah bangku panjang kedua di dalam stasiun. Ia masih saja menundukkan kepalanya. Seperti sebuah lampion yang tak lagi memancarkan cahaya kuningnya. Sendu dalam diam dan tak mampu berbuat apa - apa selain menunggu seseorang dan pemantiknya kembali. Vanya, masih saja betah mengitari pikirannya sendiri. Tentang sebuah kalimat dari seorang sahabatnya yang membuat dia berani untuk melakukan perjalanan ini sendiri. Perjalanan mencari sebuah kepastian tentang janji yang tersimpan dalam kotak kaca di hatinya.
"Bagaimana hubunganmu sekarang dengan si Ardi, Vanya ?" Tanya Anggi, sahabat kecil Vanya.
Vanya mendengus. "Aku baik - baik saja kok."
"Kamu yakin, sepertinya matamu gak bisa berbohong kepadaku Vanya..."
"Tak taulah gi, hatiku masih belum bisa berkata dengan jelas. Â Aku sudah terlalu percaya padanya."
"Jangan seperti itu Vanya, kamu sahabat terbaikku dan aku gak ingin kamu sakit hati lagi seperti dulu. Kamu harusnya bisa meminta kepastian darinya, sebab kepastian lebih mempunyai nafas yang panjang daripada sebuah penantian."
Pikiran Vanya kembali lagi, kembali menyusuri saat - saat dimana lelakinya melambaikan tangan. Persis di sebelah utara dari tempat duduknya kali ini. Tangannya seperti serpihan daun - daun yang berguguran. Jatuh terjerembab ke tanah bersama dengan kenangan - kenangan yang mengelilingi setiap sisi daunnya. Matanya kini sembab oleh air mata. Tangannya gemetar. Dan isi kepalanya tak mampu mengangkat kebahagiaan yang dulu pernah menyambangi kehidupannya.
Suasana di stasiun kota Malang mulai gaduh. Suara - suara manusia mulai ramai mengitari setiap sudut ruang pagi itu. Roda - roda kereta api mulai terdengar jelas mendekat. Vanya hampir saja menumpahkan air matanya jika saja suara decit rem kereta api tidak mengagetkannya. Tubuhnya perlahan bangkit, kakinya mulai menapaki hamparan lantai yang penuh dengan debu di depannya. Perlahan dia melangkah menuju pintu gerbong nomor 03. Di pikirannya masih tersisa ampas tentang masa lalu dan janji - janji waktu itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H