Mohon tunggu...
fajar sodik
fajar sodik Mohon Tunggu... profesional -

Antara ada dan tiada...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bukan Salah Jokowi Tak Tahu Century

27 Maret 2014   01:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:25 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1395832721832964408

Ada yang menarik ketika seorang wartawan dalam sebuah kesempatan mewawancarai Jokowi. Pertanyaan yang diajukan sebenarnya cukup kritis, yaitu terkait kasusbail out Bank Century yang akhirnya melahirnya mega skandal. Tidak ada yang aneh dan menarikdalam pertanyaan tersebut, karena hamper sebagaian besar wartawan Politik Ekonomi pasti juga akan mempertanyaan kelanjutan kasus Century, setelah sempat lama terkatung-katung.

Wawancara tersebut menjadi menarik bukan lantaran pertanyaannya yang tajam tapi menukik, tapi justru karena jawaban nara sumber yang diluar dugaan wartawan yang bertanya. Pasalnya, meski wartawan mengetahui bahwa pengetahuan nara sumber terbatas, sehingga tidak akan memperoleh jawaban detail, tapi minimal wartawan bisa meng-quote jawaban yang normative, misalnya mendorong penegakan hokum pada kasus century.

Namun jawaban tersebut tidak diperoleh Wartawan, karena pada saat itu Jokowi yang menjadi nara sumber justru menjawab tidak tahu kasus Century. Jawaban ini tidak saja membuat wartawan yang melakukan wawancara jadi melongo, namun hamper semua pembaca dan pemerhati media juga ahirnya mau tidak mau, suka tidak suka, akan menakar, kemampuan analisis sang calon pemimpin.

Sebenarnya,tidak ada yang aneh juga dengan Jawaban Jokowi. Karena ada berjuta-juta masyarakat Indonesia yang juga tidak mengetahui, apalagi mengikuti perkembangan kasus bail out Century. Tak percaya?coba saja kita bertanya pada seorang tukang kebun yang biasa bekerja merawat taman di komplek DPR RI atau buruh bangunan yang hampir setiap hari nangkring di seberang gedung KPK karena membangun gedung baru.

Jika kedua orang tersebut ditanya tentang Century, pasti jawabannya juga tidak jauh-jauh beda dari Jawaban yang keluar dari mulut Jokowi. Mereka pasti akan lebih bisa menjawab jika ditanya soal tanaman atau jumlah besi yang harus dipasang di sebuah tiang pancang. Bahkan mereka akan fasih sekali jika ada yang mengajukan pertanyaan mengenai harga sebungkus nasi dengan lauk telor di sebuah warteg, misalnya. Jawaban tersebut muncul secara spontan karena memang setiap orang memiliki keterbatasan pemikiran dan analisa. Dan itu sah-sah saja.

Demikian pula ketika seorang Jokowi yang namanya telah mashur karena menjadi Gubernur dari sebuah kota terbesar di Indonesia, yaitu Jakarta. Sangat wajar ketika Jokowi menjawab spontan, sesuai dengan tingkat kemampuan pemikiran dan analisanya.

Hanya mungkin, Jawaban tersebut tidak bisa diterima begitu saja oleh orang media maupun para pengamat, karena sosok pria asli Solo tersebut saat ini sedang dicalonkan menjadi salah seorang calon pemimpin Indonesia. Bukan pula salah Jokowi ketika dia memiliki kemampuan dan daya analisa yang terbatas, dicalonkan oleh sebuah parpol besar sebagai Calon Presiden Republik Indonesia. Jangankan Jokowi, tukang kebun atau buruh bangunan di Jakarta tentau dengan sangat antusias akan langsung mengiyakan jika sebuah partai tiba-tiba menawarkan posisi empuk sebagai calon presiden.

Bagi hamper seluruh masyarakat Indonesia, menjadi pejabat selalu identic dengan perbaikan gaya hidup, perbaikan ekonomi keluarga, juga perbaikan nasib anak-anaknya kelak. Mungkin benar apa yang dinyanyikan oleh Rhoma Irama, ketika dalam syairnya mengatakan bahwa ada seribu satu macam cara orang mencari makan. Mulai dari menjadi pengamen sampai menjadi seorang presiden. Jadi, jangan pernah menyalahkan Jokowi ketika dia sangat mau menjadi Capres, begitu pun ketika dia menjawab tidak tau saat ditanya soal kasus Century.

Lantas, kepada siapa masyarakat Indonesia harus kecewa, jika kemudian memiliki calon presiden yang plonga-plongo dan tidak memiliki daya analisis kritis dalam memikirkan bangsa ini? Tentu saja pada parpol pengusung serta para pendukung fanatiknya.

Dan jangan salah, parpol pengusung serta pendukung fanatik Jokowi, termasuk juga deretan taipan penyandang dana kampanye Jokowi, bukannya tidak mengetahui bahwa daya nalar serta kemampuan Jokowi sangat terbatas. Mereka justru sangat tahu dan faham sekali kemampuan dan daya nalar tokohyang mereka usung tersebut.

Lalu, kenapa mereka tetap bertekad kuat mendudukkan Jokowi di kursi Presidena? Jawabannya adalah karena memang ada kesengajaan pemilihan calon yang populis, tapi memiliki kemampuan terbatas. Dengan terbatasnya kemampuan dan daya kritis seorang pemimpin, maka akan lebih mudah bagi para pendukung dan tim sukses untuk bergerak, mengatasnamakan orang yang diusung, tanpa banyak protes.

Kasus skandal tender bus Transjakarta yang ternyata berasal dari China dan sudah karatan membuktikan bahwa dengan terbatasnya kemampuan seorang pemimpin, akan lebih mudah bagi para pengikutnya untuk melakukan banyak negosiasi tanpa diketahui. Dan dalam kasus tender transjakarta, Jokowi telah lulus dalam tes awal, seberapa patuh dirinya pada para pengikutnya.

Lulusnya Jokowi yang tidak melihat gajah di pelupuk mata tersebut, makin membulatkan tekad para taipanbesar Indonesia, untuk terus mendorongnya menjadi orang nomor satu di Indonesia. Dengan sikapnya yang sudah terpola semacam itu, Jokowi seakan mampu memberikan rasa aman bagi para taipan, untukmengamankan bisnismonopolinya di tanah air.

Dengan gambaran diatas, rasanya sudah jelas siapa yang bakal diuntungkan ketika sosok Jokowi yang tidak tahu apa-apa kemudian dicalonkan oleh PDIP sebagai calon Presiden RI. Jokowi sekali lagi tidak salah, karena setiap orang berhak merubah nasib, meski kemampuannya pas-pasan. Demikian pula dengan para taipan besar yang menguasai bisnis di Indonesia, sudah pasti akan mencari dan mengamankan sosok pemimpin yang mampu melindungi bisnis-bisnis mereka.Tanpa pengaman, mereka akan sulit menguasai lahan-lahan monopoli yang memiliki pangsa besr di Indonesia. Hal itu juga rasanya sah-sah saja.

Namun pada akhirnya, ketika kepentingan para taipan dan kepentingan seorang pencari kerja bersatu dalam sebuah konsiprasi yang tidak adil, itu akan menjadi masalah bagi seluruh bangsa Indonesia. Sebab munculnya penunjukkan langsung, tender yang tidak fair, serta monopoli bisnis dan kebijakan yang hanya mendukung sebagian kecil orang, akan merugikan sebagian besar rakyat Indonesia. ***

[caption id="attachment_328779" align="alignleft" width="673" caption="Jokowi saat diwawancarai wartawan"][/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun