Mohon tunggu...
fajar sodik
fajar sodik Mohon Tunggu... profesional -

Antara ada dan tiada...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ical Orang Golkar, tapi Golkar Bukan Ical

2 April 2014   01:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:12 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saat ini, Barangkali Aburizal Bakri (Ical) termasuk salah satu calon presiden RI yang tengah galau, dan tidak bisa menikmati tidur malamnya. Meski sejak pagi sudah sibuk kampanye keliling daerah,rasa lelah tersebut belum mampu membuatnya berhenti berpikir. Rasa lelah itu bahkan harus ditambahi dengan ‘’ruwetnya’’ peta politik di internal Golkar sendiri.

Dulu, Ical memang nomor satu di Golkar. Tak heran jika pada Munas Golkar di Pekanbaru pada tanggal 7 Oktober 2009, dia bisa menduduki kursi no 1 di Partai berlambang Pohon Beringin warisan Soeharto ini.Meski harus bersaing ketat dengan Raja Media, yaitu Surya Paloh, Amunisi yang kuat dan dukungan tim yang loyal, sempat membuat nama Ical menjulang tinggi, hingga menumbangkan lawan-lawan politiknya di Golkar pada saat memperebutkan pucuk pimpinan partai tua tersebut.

Dengan menjadi orang nomor 1 di Golkar, sangat wajar jika Ical memiliki ‘’mimpi’’ , yang tidak sembarang orang mampu menggapainya. Apalagi, Golkar merupakan partai tua dengan segudang pengalaman politik. Bahkan, di Era Orde Baru Golkar telah memiliki jam terbang tinggi, hingga naluri berkuasa-nya sangat mumpuni.

Pada saat Ical terpilih menjadi Ketua Umum DPP Golkar, boleh jadimerupakan saat-saat yang membahagiakan bagiIcal. Dengan perusahaan yang bertumbuh dan kekuasaan partai besar di tangan, Ical merasa sangat nyaman duduk di kursi empuknya. Terlebih lagi dengan besarnya jumlah anggota parlemen dari Faksi Golkar yang siap menunggu instruksi-nya sebagai ketua partai, Maka Ical seakan menemukan ‘’mainan’’ baru, yang tidak banyak dimiliki para pengusaha besar lain.

Namun rupanya, anginkeberuntungan tidak selalu bertiup ke arahnya. Ambisinya untuk melangkah ke kursi kekuasaan tidak selalu berjalan mulus. Meski para Rapimnas ke-3 Golkar pada tanggal 1 Juli 2012 di Sentul, Ical telah ditetapkan, atau lebih tepatnya mendeklarasikan diri sebagai calon Presiden RI dari Partai Golkar, namun goyangan kepada Ical di pohon beringin yang rimbun tersebut seakan tak pernah surut, meski system yang matang di internal Golkar selalu bisa menurunkan tensi kekuasaan para anggotanya.

Dalam perjalanan panjangnya sejak 2009, mau tidak mau, Ical harus makin waspada. Ibarat sebuah gelanggang pertarungan, Partai Golkar merupakan kandang besar yang berisi para petarung, dengan jam terbang dan naluri ‘’saling membunuh’’ sangat tinggi. Sekali lengah, posisi bisa jadi sudah berganti. Untuk itu, dengan segala daya dan amunisinya, Ical berusaha terus menebar benihdan menancapkan kekuasaannya lebih dalam di internal Golkar.

Seiring berjalannya Waktu, Ical telah berusaha membuktikan bahwa dirinya seorang pemenang dari pertarungan-pertarungan di internal Golkar, sehingga posisinya sebagai calon presiden RI tetap melekat, minimal sampai saat ini. Bahkan boleh jadi, dengan segala daya yang dimilikinya, Ical merasa telah menyatu dengan Golkar dan seluruh kader-kadernya, baik di pusat maupun di daerah.

Namun ada satu hal yang dilupakan Ical, bahwa seorang petarung, tetaplah petarung.Ibarat harimau, meski sejak kecil telah terbiasa diberi umpan tanpa harus berburu, Ketikasuatu saat ada kesempatan, nalurinyasebagai petarung akan muncul kembali. Terlebih lagi jika sang Harimau merasa bahwa jatah makanan yang dulu selalu berlebih hingga membuatnya kenyang, kini tak lagi diberikan.

Meski Ical telah merasa memiliki Golkar, namun bagi kader lain, Golkar tetap bukan milik Ical. Kalau pun Ical saat ini menjadi Ketua Umum, hal itu tidak lebih dari sekedar menempati siklus lima tahunan belaka. Dan roda tetap harus berputar.

Yang menarik diamati, para petarung di Golkar rupanya tahu persis cara mengukur kekuatan lawan. Meski riak-riak sudah dikibarkan sejak awal, namun merekabaru bermunculan menjelang garis finis, yaitu pemilu 2014. Di saat yang bersamaan, sang ketua sudah ngos-ngosan, karena telah menempuh perjalanan panjang sejak 2009 dengan beban berat karena harus menghidupi partai besar.

Makin menguatnya beberapa nama seperti Akbar Tanjung, Jusuf Kalla (JK), Priyo Budi Santoso, serta nama-nama lain, yang digadang-gadang akan bersanding dengan partai lain menjadi Calon Wakil Presiden, tentunya membuat dahi Ical makin berkerut. Ical seharusnya cepat sadar bahwa peta politik telah berubah. Terlebih lagi, elektabilitasnya yang makin menurun, dan juga skandal film Maldive, akan menjadi senjata ampuh bagi pesaing-pesaing politiknya di internal. Meski terlambat, seharusnya Ical cepat berpikir dan mengambil tindakan.

Selain itu, Ical juga harus mulai menakar kemampuan, sebelum dia memutuskan untuk melanjutkan pertarungan di internal sekaligus eksternal, dengan amunisi yang semua orang tau tidak secermerlang dulu.Mungkin, saat ini menjadi kesempatan bagi Ical untuk mengukur diri dan mengambil momentum, hendak menjadi pahlawan atau pecundang, yang boleh jadi akan dikalahkan rekan sejalan. Yang pasti, Politik tetap berkiblat pada kepentingan. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun