Mohon tunggu...
Mas Say
Mas Say Mohon Tunggu... Dosen - Pemuda Indonesia

Diskusi: Kebangsaan dan Keindonesiaan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

2024

26 Januari 2022   12:20 Diperbarui: 26 Januari 2022   12:24 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Presidential Threshold, Peta Jalan Menuju Pilpres Tahun 2024?

Adanya pemilu serentak tahun 2019 yang masih menerapkan ambang batas bagi Presiden dan Wakil Presiden bagi Penulis adalah inkonstitsional. Jika pemilu serentak adalah idealnya tanpa adanya ambang batas. 

Fakta ini juga didukung adanya ambang batas 4% bagi Parpol yang relatif berat. Pemilu dilakukan serentak akan menimbulkan tingkat kerumitan baik dari teoretis sebagai payung hukum. 

Dalam praktek sebagai implikasi adanya ambang batas. Selain itu juga terkait cottail efect dari masing-masing Parpol dalam menjalankan fungsinya sebagai bagian infra struktur politik akan sulit berjalan. 

Suara rakyat akan banyak yang tergerus oleh dominasi adanya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Suara rakyat akan terbuang sia-sia dan sejalan linear dengan indikasi kegagalan pertama dalam sejarah demokrasi Indonesia.

Putusan MK

Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (PMK) terkait pemilu serentak sudah final dan menjadi kesepakatan bersama melalui PMK No.14/PUU-XI/2013 tanggal 21 Januari 2014. Polemik tentang Presidential Threshold (PT) mencapai klimaks ketika terjadi voting pada pengesahan sidang paripurna DPR terkait UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu. 

Banyak perdebatan antara pihak pendukung PT 0% atau tidak. Perdebatan dilatar belakangi banyak kepentingan dari masing-masing Parpol. Akhirnya pada Pasal 222 UU Pemilu disepakati bahwa PT 20% suara kursi DPR atau 25% suara hasil pemilu nasional. Pasca pengesahan, banyak yang melakukan uji materi di MK. 

Hampir bersamaan banyak putusan MK yang dibacakan. Semua saling keterkaitan. Beda Pemohon, beda pasal yang diuji materi, tapi ada juga yang sama. 

Pasal 222 UU Pemilu boleh jadi sebagai pasal induk dari semuanya. Termasuk juga dari Pasal 173 ayat (1) dan (3) tentang verifikasi faktual bagi semua parpol termasuk yang sudah mendapatkan kursi nasional. Melalui Putusan MK No. 71/PUU-XV/2017 tanggal 11 Januari 2017 uji materi dari Pasal 222 UU Pemilu telah diketuk. PT yang digunakan tetap sesuai norma hukum tersebut.

UUD 1945

Konsep norma hukum dalam pasal ini adalah konstitualisme adanya sistem Presidential Threshold di Indonesia. Berapa pun banyak pasangan Capres dan Cawapres yang akan mengikuti Pilpres tetap saja maksimal akan dilakukan 2 putaran. Hal ini disebabkan karena dari kontestan yang ada diambil 2 suara terbanyak untuk ikut putaran kedua.

Lalu pertanyaannya?. Apakah PT 20% sejaan dengan original intent dari pasal tersebut?. Jika mengacu pada kontestasi demokrasi tentunya adanya pembatasan PT 20% tidak sejalan dengan amanah dari pasal tersebut. Pembatasan tersebut akan menjadi sandungan bagi tokoh potensial yang akan ikut kontestasi Pilpres. 

Sistem multi Parpol tanpa ambang batas berarti calon Capres dan Cawapres akan sejumlah dan sebanyak Parpol yang lolos PT 4%. Hal ini juga sejalan dengan Pasal 6A ayat (2). Jika tanpa kaolisi, 1 Parpol pun juga boleh mengajukan diri untuk Capres dan Cawapres.

Apakah jumlah Capres dan Cawapres boleh melebihi dari jumlah Parpol yang lolos 4%?. Jelas jika kita mengacu makna dari norma hukum tersebut tidak boleh. Bertolak dari hasil pemilu tahun 2019 ada 9 Parpol yang lolos PT 4%. Jika masing-masing Parpol mengajukan diri untuk Capres dan Cawapres berarti akan ada 9 pasangan Capres dan Cawapres.

Andaikan jika tetap PT 20% akan terjadi koalisi?. Ada berapa?. Paling banyak 4 pasangan Capres dan Cawapres. Cuma dalam praktek banyak ditentukan faktor lain dan hal tersebut tidak terjadi. Justru mengarah pada polarisasi terjadi 2 kutub perlawanan. Hanya ada 2 pasangan. 

Mereka lebih diikat dengan kepentingan dan deal-dealan politik. Bisa jadi tokoh dan figur dari masing-masing Parpol masih kalah dengan Parpol lain, sehingga demi kemenangan dan mengamankan kepentingan bersama mereka akan berkoalisi.

Parpol pengusul dan pengusung menjadi bagian penting dalam membangun demokrasi. Bahkan dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 269 UU Pemilu keterlibatan Parpol telah memiliki jaminan hukumnya. 

Keberadaan Parpol menjadi bagian juga dalam Pemilu. Pun juga sebagai pihak yang mengusulkan pasangan Capres dan Cawapres. Di sisi lain, dalam Pasal 6A ayat (3) merupakan regulasi maksimal ada 2 putaran Pilpres berapa pun banyaknya calon pasangan Presiden dan Wakil Preasiden.

UU

Pasca adanya reformasi tahun 1998 Indonesia mengalami kegalauan ketatanegaraan. Format ulang membangun demokrasi menjadi buntu. Orba dianggap rezim yang telah mematikan demokratisasi. Salah satu langkah konkret pasca adanya kebuntuan tersebut, dibentukah UU yang mengatur tentang Parpol dan Pemilu. 

Tentunya ada aturan penting berkaitan dengan kehidupan Parpol yang makin banyak. Mengingat sejak Orba hanya ada 3 Parpol saja. Hal ini pasti berdampak terhadap ambang batas Parpol yang dapat lolos ke DPR. Konsekuensi logis perolehan kursi dari masing-masing Parpol adalah dengan koalisi untuk mengusung Presiden dan Wakil Presiden.

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pertama kali dalam sejarah Indonesia berlangsung mulai tahun 2004. Sebelumnya masih dipilih oleh MPR. Seiring waktu dan dinamika politik dan tata negara, maka aturan berupa UU yang mengatur tentang ambang batas bagi Parpol dan syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden mulai ada aturan khusus. UU Pemilu (No.8 Tahun 2012), UU Pilpres (No. 42 Tahun 2008) dan UU Penyelenggara Pemilu (No. 15 Tahun 2011) digabung menjadi satu kesatuan menjadi UU Pemilu No.7 Tahun 2017. 

Khusus dalam Pasal 222 UU Pemilu tersebut ada syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden/Presidential Threshold (ambang batas) 20% digunakan. Inilah titik mulai yang masih selalu menjadi perdebatan saat digunakan dalam pemilu serentak pertama kali di Indonesia tahun 2019. Walaupun sudah ada putusan MK sejak tahun 2008 sejak pertama kali redaksional 20% muncul dalam UU Pilpres.

Peta koalisi Parpol

PKS, PAN dan Demokrat di luar koalisi. Dengan catatan ukuran PAN sampai saat ini belum dapat jatah kursi di kabinet. Walau tampak PAN lebih condong ke pemerintahan. Mereka bertiga berharap agar PT tanpa ambang batas atau 0%. 

Disisi lain, perkembangan sikap dari PKB agar PT berkisar antara 5-10%. Keadaan politik tiap waktu dapat berubah. Selain kepentingan juga mengingat waktu revisi UU Pemilu memungkinkan atau tidak. Disisi lain, belum tentu menjelang Pilpres koalisi Papol yang sekarang dapat sama. Tampanya akan ada yang keluar dari koalisi. Bisa juga Nasdem.

Peluang

Persoalan PT 20% masih menjadi perdebatan dan tarik ulur. Padahal daam putusan MK dan UU sudah diatur memang 20%. Konstestasi Pilpres 2024 masih lama. Peluang untuk melakukan perubahan angka 20% memang masih terbuka saja. Apalagi uji materi di MK masih berjalan. 

Sifat open legal policy terkait hitungan angka MK memang menyerahkan pada pihak legilatif sebagai pembuat UU. Lalu dengan koalisi mayoritas sekarang, apakah legislatif akan merubah angka PT 20%?. 

Tampaknya hal tersebut tidak akan terjadi. Mengingat koalisi pemerintah sekarang sudah ambil start untuk persiapan Pilpres tahun 2024. Celah peluang masih ada yaitu di MK. Cuma, apakah MK akan memberikan tafsir pandangan yang lebih progresif dan berbeda dengan putusan-putusan sebelumnya?. 

Tampaknya MK tidak akan merubah paradigma yang sudah pernah ada dalam putusan-putusan sebelumnya. Apakah ada jalan lain?. Hal ekstrim adalah Presiden mengeluarkan Perppu. 

Hal ini apa mungkin?. Jika dikeluarkan Perppu alasan 'kegentingan yang memaksa' perlu ada dulu. Disisi lain, Presiden yang juga bagian dari Parpol penguasa dan pimpinan koalisi jelas akan mengeluarkan Perppu. Jika iya, berarti dianggap menghianati Parpol koalisi lainnya.

Putusan MK No.14/PUU-XI/2013 tentang Pemilu Serentak memiliki konsekuensi logis bahwa berkaitan dengan Pilpres sudah tidak ada lagi ambang batas. Akan tetapi, politik hukum memiliki perspektif lain. 

Berkaitan dengan open legal policy bahwa DPR memiliki kewenangan untuk tidak sepaham dengan putusan MK. Melalui UU No.7 Tahun 2017 DPR memiliki arti lain.

Dalam Pasal 222 Presidential Threshold (ambang batas) 20% masih ada. Bahkan dikuatkan dengan Putusan MK No.71/PUU-XVI/2017. MK juga membenarkan kewenangan DPR. Dalam hal ini Penulis akan membahas dalam rumusan masalah berikut: 

1. Bagaimanakah korelasi Putusan MK No.14/PUU-XI/2013 dengan Pasal 222 UU Pemilu berkaitan ambang batas Presidential Threshold sebesar 20%?, 

2. Bagaimanakah telaah kritis legitimasi Partai Politik terhadap dilema Presidential Threshold sebesar 20% dalam mengusung Calon Presiden dan Wakil Presiden di Pemilu 2024?

Perlu dikaji bersama dampak konstitusi dan pembelahan masyarakat serta ancaman demokrasi. Kepastian hukum terasa tidak ada jaminannya. Berubah tiap waktu sesuai keadaan dan kehendak koalisi Parpol. 

Jika ambang batas 20% masih tetap dipertahankan khususnya pada Pemilu tahun 2024 dikhawatirkan pasangan Capres dan Cawapres terbatas. Tidak ada alternatif lain. Padahal masih banyak tokoh potensial lainnya. Polarisasi rakyat makin terbelah. Hal ini akan dapat mengancam kehidupan demokrasi.

Penulis : Saifudin atau Mas Say

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun