Hal ini apa mungkin?. Jika dikeluarkan Perppu alasan 'kegentingan yang memaksa' perlu ada dulu. Disisi lain, Presiden yang juga bagian dari Parpol penguasa dan pimpinan koalisi jelas akan mengeluarkan Perppu. Jika iya, berarti dianggap menghianati Parpol koalisi lainnya.
Putusan MK No.14/PUU-XI/2013 tentang Pemilu Serentak memiliki konsekuensi logis bahwa berkaitan dengan Pilpres sudah tidak ada lagi ambang batas. Akan tetapi, politik hukum memiliki perspektif lain.Â
Berkaitan dengan open legal policy bahwa DPR memiliki kewenangan untuk tidak sepaham dengan putusan MK. Melalui UU No.7 Tahun 2017 DPR memiliki arti lain.
Dalam Pasal 222 Presidential Threshold (ambang batas) 20% masih ada. Bahkan dikuatkan dengan Putusan MK No.71/PUU-XVI/2017. MK juga membenarkan kewenangan DPR. Dalam hal ini Penulis akan membahas dalam rumusan masalah berikut:Â
1. Bagaimanakah korelasi Putusan MK No.14/PUU-XI/2013 dengan Pasal 222 UU Pemilu berkaitan ambang batas Presidential Threshold sebesar 20%?,Â
2. Bagaimanakah telaah kritis legitimasi Partai Politik terhadap dilema Presidential Threshold sebesar 20% dalam mengusung Calon Presiden dan Wakil Presiden di Pemilu 2024?
Perlu dikaji bersama dampak konstitusi dan pembelahan masyarakat serta ancaman demokrasi. Kepastian hukum terasa tidak ada jaminannya. Berubah tiap waktu sesuai keadaan dan kehendak koalisi Parpol.Â
Jika ambang batas 20% masih tetap dipertahankan khususnya pada Pemilu tahun 2024 dikhawatirkan pasangan Capres dan Cawapres terbatas. Tidak ada alternatif lain. Padahal masih banyak tokoh potensial lainnya. Polarisasi rakyat makin terbelah. Hal ini akan dapat mengancam kehidupan demokrasi.
Penulis : Saifudin atau Mas Say
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H