Presidential Threshold, Peta Jalan Menuju Pilpres Tahun 2024?
Adanya pemilu serentak tahun 2019 yang masih menerapkan ambang batas bagi Presiden dan Wakil Presiden bagi Penulis adalah inkonstitsional. Jika pemilu serentak adalah idealnya tanpa adanya ambang batas.Â
Fakta ini juga didukung adanya ambang batas 4% bagi Parpol yang relatif berat. Pemilu dilakukan serentak akan menimbulkan tingkat kerumitan baik dari teoretis sebagai payung hukum.Â
Dalam praktek sebagai implikasi adanya ambang batas. Selain itu juga terkait cottail efect dari masing-masing Parpol dalam menjalankan fungsinya sebagai bagian infra struktur politik akan sulit berjalan.Â
Suara rakyat akan banyak yang tergerus oleh dominasi adanya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Suara rakyat akan terbuang sia-sia dan sejalan linear dengan indikasi kegagalan pertama dalam sejarah demokrasi Indonesia.
Putusan MK
Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (PMK) terkait pemilu serentak sudah final dan menjadi kesepakatan bersama melalui PMK No.14/PUU-XI/2013 tanggal 21 Januari 2014. Polemik tentang Presidential Threshold (PT) mencapai klimaks ketika terjadi voting pada pengesahan sidang paripurna DPR terkait UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu.Â
Banyak perdebatan antara pihak pendukung PT 0% atau tidak. Perdebatan dilatar belakangi banyak kepentingan dari masing-masing Parpol. Akhirnya pada Pasal 222 UU Pemilu disepakati bahwa PT 20% suara kursi DPR atau 25% suara hasil pemilu nasional. Pasca pengesahan, banyak yang melakukan uji materi di MK.Â
Hampir bersamaan banyak putusan MK yang dibacakan. Semua saling keterkaitan. Beda Pemohon, beda pasal yang diuji materi, tapi ada juga yang sama.Â
Pasal 222 UU Pemilu boleh jadi sebagai pasal induk dari semuanya. Termasuk juga dari Pasal 173 ayat (1) dan (3) tentang verifikasi faktual bagi semua parpol termasuk yang sudah mendapatkan kursi nasional. Melalui Putusan MK No. 71/PUU-XV/2017 tanggal 11 Januari 2017 uji materi dari Pasal 222 UU Pemilu telah diketuk. PT yang digunakan tetap sesuai norma hukum tersebut.