Mohon tunggu...
Mas Say
Mas Say Mohon Tunggu... Dosen - Pemuda Indonesia

Diskusi: Kebangsaan dan Keindonesiaan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Misteri Mundurnya Komisioner KPK: Kebijakan Presiden, Penolakan atau Ketidakpahaman?

15 September 2019   14:25 Diperbarui: 15 September 2019   14:35 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

LEGALITAS SURPRES

Alur dan mekanisme Revisi UU KPK seperti kejar tayang. Dikejar deadline. Seperti halnya drama dalam sebuah sinetron. Apa di negara kita lagi terjadi drama dalam kegelapan terkait revisi tersebut?. Tanggal 4 September 2019, undangan Rapat Paripurna DPR. Tanggal 5 semua fraksi setuju usulan revisi. Tanggal 6 diserahkan pada Presiden. Tanggal 11 diserahkan lagi pada DPR melalui Surat Presiden (Supres). Tanggal 12 mulai dibahas lagi dalam Rapim, Bamus sampai Baleg.

Lalu seperti apa legalitas Surpres?. Idealnya memang maksimal 60 hari (UU No.12 Tahun 2011) batas waktu Presiden mengkaji, menggali dan memahami draft revisi yang diajukan bersama pejabat pemerintah terkait. Ini begitu cepat. Keluar Surpres dan langsung menunjuk Kemenkumham dan Pan RB ikut dalam pembahasan sebagai perwakilan pemerintah. Supres ini memang baru sekedar administrasi surat menyurat saja. Belum hasil akhir. Tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Masih bisa ditarik atau dibatalkan. Itu pun jika Presiden berani. Terlambat lebih baik, jika tidak ada manfaat Surpres dikeluarkan. Bagi saya, Surpres ini bentuk keraguan dan tidak konsisten dalam mengawal revisi.

ANTARA PENOLAKAN DAN KETIDAKPAHAMAN

Dari 4 hal point penolakan, sungguh aneh dan janggal pada point no.1. Saya khawatir semua dfrat tidak dibaca secara utuh. Tidak digali dan dipahami secara komprehensif oleh pemerintah. Coba kita cermati. Presiden mengatakan tidak perlu Pengadilan soal penyadapan. Lalu apakah pernah ada draft tersebut tentang izin ke Pengadilan?. Bukankah permasalahannya adalah adanya Dewan Pengawas?. Secara tidak langsung Presiden telah menyetujui adanya Dewan Pengawas sebagai mitra dalam penyadapan bagi KPK. Jika menolak beberapa point draft kenapa harus menyetujui Dewan Pengawas?. Inikah bentuk ketidak konsistenan. Sangat kontradiksi. Terlalu cepat pembahasan linear ketidak pahaman. Kenapa harus Konpres menunjukan penolakan?. Berkaitan dengan 3 point lainnya, masih realistis dalam pembahasan. Terkait penolakan penyelidik dan penyidik tidak harus dari Polri, Penuntuan tidak harus koordinasi dengan Kejaksaan dan pengelolaan LHKPN tetap berada pada KPK.

MUNDURNYA KOMISIONER KPK

Suka tidak suka, pasca adanya Konpres KPK secara tidak langsung juga mengambil sikap. Saat adanya uji kelayakan Capim KPK sudah ada 1 komisioner KPK resmi mengundurkan diri. Lalu sikap 2 komisioner KPK, termasuk Ketua KPK dianggap sebagai pengunduran diri?. Dalam pandangan saya, beda dengan sikap komisioner yang resmi secara formal mengundurkan ini (telah memenuhi unsur Pasal 32 ayat (1) huruf e UU KPK). Persoalan ini harus dikaji bersama.

Berkaitan dengan 2 komisioner KPK saat Konpres tanggal 13 September 2019, belum bisa dikatakan resmi mengundurkan diri. Penyerahan mandat pada Presiden. Ini debatable. Masih bentuk kekecewaan terhadap Presiden. Mosi tidak percaya pada pemimpin?. Memang pimpinan KPK diangkat melalui Keppres. Wajar saja para komisioner KPK protes. Apalagi dianggap tidak tahu tentang draft Revisi UU KPK. Aneh kan?. Terindikasi memang tidak diberi tahu agar tidak ada pembahasan panjang. Biar tidak deadlock. Publik disuguhkan polemik ini memang tidak baik. Seolah-olah Presiden tidak berdaya atau komisioner KPK kurang berintegritas, sehingga mengundurkan diri disaat masih menjabat. Baru terjadi kali ini memang selama KPK berdiri. Sikap komisioner KPK tersebut dapat dimaklumi jika terkesan dikebiri. Hal tersebut telah menegaskan terjadi pelemahan KPK secara terstruktur dan tersistematis.

SIKAP PRESIDEN

Melalui Revisi UU KPK yang dianggap justru memperkuat, bagi saya tidak hanya restart justru menuju shutdwon. Penegasan dalam sistem Presidential bahwa Presiden adalah komandan terdepan dalam penegakan hukum. Khususnya pemberantasan korupsi. Bahkan melalui putusan MK No. No.36/PUU-XV/2017 KPK merupakan quasi eksekutif. Presiden sebagai pimpinan dalam lembaga kepresidenan. Pemegang utama dalam pemerintahan dengan mayoritas koalisi Parpol. Mampukah Presiden dapat lepas dari jeratan barter politik?. Bisa tidak Presiden tegas mengambil sikap agar resmi menolak Revisi UU KPK?. Apakah Presiden justru terlalu lemah dan menegaskan setuju Revisi UU KPK?. Mari kita tunggu bersama. Apakah KPK makin digdaya atau hanya tinggal nama saja?.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun