Suatu saat aku dikesempatkan untuk jadi MC dalam acara lamaran dekat kompleks. Mengingat si Empunya hajat termasuk rajin ke Masjid, maka beliau request mata acara tambahan yaitu taushiyah pra-nikah.
Satu persatu mata acara dilewati, hingga tibalah saat pengutaraan maksud keluarga laki-laki. Belum lagi mengucapkan salam, si Bapak dari laki-laki berkata dalam bahasa sunda "Saya tidak tahu menahu tentang acara ini". Si laki-laki berkilah "Saya sudah kasih tau Ibu kok kemarin". Sahut menyahut pun makin ramai dengan melibatkan Ibu, Bibi dan anggota keluarga yang hadir.
Seisi rumah terkejut dengan kejadian ini. Aku termasuk bingung, selain karena mereka full bahasa sunda, pihak shahibul hajat juga menunjukkan raut agak kecewa.
Disela 'pertengkaran kecil' itu, Bapak dari calon wanita dengan besar hati berbicara dengan nada rendah. "Bapak... Ibu... sebenarnya kami tidak masalah kalau Bapak Ibu sekeluarga tidak membawa apa-apa dari rumah. Maksud acara ini kan mengikat anak-anak kita sebelum menikah. Nah soal bawaan ini-itu kan bisa dibahas sambil jalan. Kan kita nggak mau anak-anak kita yang udah saling kenal ini kebablasan, ya makanya saya minta ke anak Bapak supaya bawa keluarganya kesini kalau mau sama anak saya. Begitu".
Dengan sikap bijak Bapak calon wanita itu acara berlangsung kembali dengan lancar, meskipun menyisakan pelajaran berharga bagiku. Sesiap apapun kita menikah, jika komunikasi dengan keluarga terbatas, bahkan bermasalah, akan mengundang masalah baru.
(Gerlong -- Bandung, 2 Juli 2017)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H