Belakangan ini sering dilansir berita. Banyak tenaga kesehatan yang mengalami kejenuhan dan kelelahan kerja.
Pada saat yang bersamaan. Beredar foto-foto nakes yang melepas lelah. Bahkan berdedar pula video nakes jogedan (baca: tiktokan). Terakhir viral video relawan pengubur jenazah menari-nari di kuburan.
Dua fenomena ini menunjukkan gejala burnout syndrome. Sindrom apa itu? Mengapa bisa terjadi? Bagaimana cara mengatasinya?
Secara sederhana. Burnout syndrome dapat dikatakan sebagai perasaan lelah secara fisik dan emosional akibat pekerjaan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan sebagai sindrom yang dikonseptualisasikan sebagai hasil stres kronis di tempat kerja yang belum berhasil dikelola.
Gampangnya stres akibat pekerjaan yang berkepanjangan. Harus dipahami burnout syndrome beda dengan stres.
Tanda-tandanya
Beberapa tanda yang dapat dikenali dari seseorang yang mengalami burnout syndrome, antara lain:
- Tampak mengalami kelelahan yang amat sangat secara fisik maupun enosional. Foto nakes yang tidur di selasar rumah sakit atau nyender di mobil ambulance. Merupakan indikasi awal terjadinya burnout syndrome. Tanda ini akibat yang bersangkutan kewalahan menangani pekerjaan.
- Mengundurkan diri dari lingkungan kerja dan sosial. Hal ini bisa terjadi karena dirinya merasa tidak dihargai hasil pekerjaannya. Sehingga berpendapat lebih baik menarik diri.
- Menurunnya performa dan produktivitas kerja. Berkurangnya minat dan motivasi kerja pada gilirannya sudah pasti akan menurunkan produktivitas kerja yang bersangkutan.
Mengapa Bisa Terjadi?
Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya burnout syndrome. Masing-masing faktor bisa berdiri sendiri atau menyerang secara bersamaan.
Burnout syndrome paling banyak disebabkan oleh tuntutan pekerjaan yang sangat tinggi. Maka bisa dipahami. Ketika angka penularan covid-19 mencapai 50 ribu per hari. Banyak nakes yang mengalami burnout syndrome.
Pada saat yang bersamaan. Masih banyak masyarakat yang abai terhadap penerapan protokol kesehatan. Masih banyak anggota masyarakat dengan 'segala cara' mencoba mengabaikan PPKM Darurat.
Tidak sedikit pula anggota keluarga pasien covid-19 melakukan bullying dan penganiayaan terhadap nakes yang sedang menjalankan tugasnya.
Akibatnya para nakes merasa pekerjaannya sia-sia. Tidak dihargai oleh orang lain. Sehingga memberikan tekanan batin tersendiri.
Sudah barang tentu. Kondisi yang demikian secara tidak langsung lingkungan kerja memberikan tekanan berlebih.
Apalagi jenis pekerjaan mereka tergolong monoton. Hanya itu-itu saja yang dikerjakan. Tidak ada variasinya.
Cara Mengatasi
Berikut tip yang dapat dilakukan untuk mengatasi burnout syndrome. Sedapat mungkin dilakukan secara simultan.
- Ubah persepsi. Rubah cara pandang terhadap pekerjaan. Bahwasanya pekerjaannya berguna bagi orang banyak. Berpikir positif bahwa lebih banyak orang yang mendukungnya daripada yang mengabaikan.
- Bicara dengan orang lain. Bisa atasan atau tekan sejawat. Dengan demikian mereka dapat membuka wawasan dan saling mendukung. Menarik diri dari bersosialisasi dengan orang lain. Hanya akan semakin memperparah kondisinya.
- Bila memungkinkan istirahat dan tidur yang cukup. Istirahat dan tidur akan mengembalikan tubuh dan pikiran kembali segar. Akan lebih baik jika dibarengi dengan mengkonsumsi makanan yang sehat dan bergizi.
Demikian tulisan ini sekedar memotret fenomena sosial. Kalau nakes di masa pandemi covid-19 sebagai contoh. Semata-mata sebagai fenomena yang aktual.Â
Sekaligus memberikan dukungan kepada para nakes dalam menjalankan tugasnya. Memerangi setangan covid-19 yang semakin ganas.
Jkt, 170721
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H