Kalem. Begitulah presiden Jokowi menanggapi kritik. Yang teranyar dari BEM UI dengan gelar 'King of The Lip Service'nya.
Sekalipun dicap klemar-klemer, plonga-plongo atau otoriter. Jokowi tetap nyante. Tapi di akhir pernyataannya. Jokowi mengingatkan. Kritik boleh tapi bukankah kita punya budaya tata krama?
Saya kok jadi ingat simbah. Kakek selalu mengingatkan untuk selalu memakai 'unggah-ungguh' jika ingin menyampaikan kritik. Apalagi kalau yang dikritik orang 'sepuh'.
Berikut tiga peribahasa Jawa yang mengajarkan adab dalam membeeikan kritik.
- Ngono yo ngono ning ojo ngono. Maknanya boleh begitu tapi sebaiknya jangan begitu. Boleh mengkririk tapi sampaikan dengan baik. Jangan vulgar. Hindarkan dari rasa benci  atau tidak suka. Niatkan untuk meluruskan bukan merendahkan. Kritik yang baik jika disertai dengan solusi. Bukan 'waton sulaya'.
- Empan papan. Harus tahu tempat dan situasi. Di hadapan Tuhan semua manusia memang sama. Tapi dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat ada norma yang mengaturnya. Tidak ada salahnya dan sudah seharusnya. Perhatikan kedudukan orang yang dikritik, apalagi sekelas pimpinan negara. Kritik akan lebih mengena dengan bahasa yang sopan
- Ajining diri gumantung obahing lathi. Harga diri tergantung pada gerak lidah. Kebiasaan berkata sopan dan lembut akan mendatangkan hormat dari orang lain. Sebaliknya sering berkata-kata kasar hanya akan mendatangkan antipati. Mengritik dengan bahasa sopan akan menarik perhatian orang. Sebaliknya kritik yang bombastis hanya akan jadi angin lalu.
Begitulah sekedar tulisan retjeh ini. Berbagi pitutur para sesepuh. Tidak ada salahnya menjadi petunjuk dalam menjalani kehidupan.
Jkt, 300621
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H